Showing posts with label Sosial Budaya. Show all posts
Showing posts with label Sosial Budaya. Show all posts

Tuesday, 29 May 2018

Review Novel Bumi Manusia

Bumi ManusiaBumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 5 of 5 stars

Pembuka tetralogi yang mengesankan.


Bumi Manusia adalah novel Pram yang baru saya baca setelah hingar bingar pengerjaan film dengan judul yang sama oleh sutradara kondang Hanung Bramantyo, sosok yang tak asing lagi dari belantika perfilman nasional. Lewat trivia yang dimuat di Jawa Pos 28 Mei 2018, Hanung waktu itu pernah mendatangi Pram untuk maksud mewujudkan karya besar miliknya ke dalam medium film. Sontak dijawab bukunya juga ditawari sutradara kondang, Oliver Stone, dari Hollywood. Keinginan Hanung belum diluluskan hingga kelak ditawari Falcon untuk menyutradarai film Bumi Manusia yang kemudian heboh di kalangan warganet.

Sesederhana itu saya menjumput dorongan membaca untuk pertama kali karya Pram. Buku yang ditebus beberapa tahun silam, sudah penuh bercak kekuningan. Dengan sedikit imajinasi Iqbal di dalam benak saya sebagai tokoh utama dalam pembacaan Bumi Manusia. Tapi hanya di beberapa jenak saja, karena sejujurnya saya lebih ingin mandiri menafsirkan sosok Mingke dan Anne di kepala.

Seperti halnya kisah percintaan yang mudah membuat orang jatuh simpati ke dalamnya. Pram dengan mengalir menjalin cerita demi cerita di buku ini. Harap bersabar menemui diksi-diksi tidak biasa yang mungkin sudah jarang kita dengar saat ini. Tapi diksi seperti kekinian dan beberapa lainnya (lupa) yang saya kira sedap betul menambah perbendaharaan kalimat. Bahasa Indonesia memang luar biasa!

Narasi yang dihadirkan dari awal cukup sederhana untuk kita baca. Nggak perlu jiper dulu lihat tebalnya, si narator itu kayak sedang bercerita santai dengan pembaca. Ini loh cerita cintaku jaman dulu, karena settingnya di abad 18. Pertemuan demi pertemuan yang dirangkai kelihatannya begitu ringkas, sampai pada konflik demi konflik mulai terbangun. Tak disadari kita mendapati ketegangan yang mau tak mau harus dituntaskan dengan membaca sampai akhir. Yang cukup tebal juga kalau boleh dibilang. Maka saran saya: persiapkan cukup waktu untuk menikmati buku ini.

Saya kemudian mendapati betapa Pram, bisa menyajikan cerita yang begitu padat. Begitu berisi sekaligus sederhana. Pembaca tinggal menikmati dan terasa masuk betul dalam kentalnya situasi yang dihadapi sang tokoh utama. Tak ketinggalan belokan-belokan cerita yang bikin kita makin antusias dengan kisah Mingke yang digambarkan sebagai sosok terpelajar sekaligus pandai menulis.

Kisah di buku ini ditutup dengan penutup yang bikin pembaca penasaran. Dan harus melanjutkan pembacaan di novel kedua dari apa yang terkenal dengan Tetralogi Pulau Buru. Tidak bisa tidak. Saya bisa membaca BM dengan anteng, sembari tersenyum, terbawa sedikit dengan api asmara sepasang kekasih kesayangan kita itu. Tidak terburu-buru dalam menyelesaikannya. Saya membayangkan bagaimana orang-orang waktu jaman buku ini dilarang, membacanya sambil deg-deg ser, jantungnya terpompa cepat karena merasa membaca sesuatu terlarang. Bukunya pun tak terjual bebas selayaknya sekarang. Di Gramedia, misalnya, buku ini bisa dijumpai kalau kamu mau tahu bagaimana isi cerita yang akan dimainkan oleh Iqbal nanti.

Membaca Bumi Manusia tentu tidak dapat dipisahkan dari semangat perjuangan melawan ketidakadilan yang tersirat dari novel ini. Keadaan masyarakat saat itu pun dapat menjadi rujukan tentang wawasan Indonesia. Budaya Jawa yang menjadi titik sentral tak lepas dari perhatian sepanjang buku ini. Merekam jauh kehidupan masyarakat Surabaya, Jawa Timur, kita dapat membayangkan andong, dokar, orang-orang memerah susu, daerah kembang Jepun, Wonokromo, bahkan kue cucur, semuanya itu melengkapi kekuatan deskripsi penulis sehingga kisah ini begitu hidup dalam imajinasi pembaca.

Buku ini direkomendasikan untuk anda yang ingin mengetahui sumber primer film Bumi Manusia, penikmat sastra Indonesia, konon ada yang bilang belum baca sastra kalau belum khatam Bumi Manusia dan teman-temannya.

View all my reviews

Friday, 16 June 2017

Ulasan Buku Prie GS "Waras di Zaman Edan" Bentang Pustaka (2013)




Lewat "Waras di Zaman Edan" kita diajak melihat hal-hal sederhana yang sering luput dalam kehidupan.

Di buku ini penulis terkesan lebih bebas mengobrolkan kesehariannya, ini itu diungkap dengan ceplas ceplos khas Prie G.S. Selain itu saya juga terkesan dengan kepiawaian bapak dalam menulis. Hal-hal sederhana mampu dituliskan dengan gaya yang sedemikian menarik. Tampaknya ini adalah bentuk rasa yang dicapai ketika berhasil menulis dengan jam terbang yang tinggi.


Contoh. Ketika Pak Prie menulis tentang kerupuk.

"saya belum pernah menemukan jenis pemekaran yang seagresif kerupuk saat sudah jatuh di bejana penggorengan." hal 217.

Lebih lanjut, kerupuk memang begitu diinginkan seseorang saat makan selain tentunya sambal yang mengigit. Sambal apapun itu. Sambal colo-colo yang diberi perasan jeruk secukupnya. Sambal teri. Sambal cabe hijau sampai sambal terasi brambang tomat ala warung SS.

"Ia memberi sensasi seperti halnya pedas. ia memperdayai dan menipu lidah. itulah kenapa, bagi penggemarnya, gabungan antara pedas dan kerupuk adalah duet yang menggemparkan."

Hingga sampai pada kesimpulannya. Penulis mengajak kita pembacanya untuk tidak berkonsentrasi pada sensasi ala makan kerupuk itu.

"Kerupuk memang sensasional, tetapi satu soal yang harus disepakati: ia ramai di mulut, tetapi rendah di gizi." Nah loh. Mantap kan.

Buku ini sendiri adalah buku kedua Prie G.S yang saya baca. Pertama itu "Menjual Diri: Bertemu Diri. Bertemu Makna. Bertemu Sukses." Bukunya sudah kerap kali saya lihat di tokobuku dekat rumah. Kondisinya sudah tidak disegel. Hingga saat kemarin saya beli, kondisinya sudah menguning, dibungkus tidak terlalu rapi dengan plastik, namun bentuknya masih bagus sekali. Tak tertekuk. Saya kira sampul dengan karikatur penulis tersebut sudah duduk lama menanti pembeli. Yaa, kemarin setelah membeli koleksi tulisan bapak, saya ingat pernah melihat terbitan Bentang ini.

Sore itu meski hujan mengguyur, tak lantas memberi keraguan untuk melihat apa buku Pak Prie masih ada atau tidak. Saya pun boleh dibilang beruntung, buku itu masih tersisa sebiji. Saya segera merogoh kocek dan pulang ke rumah. Setelah sebelumnya mencari dan mengambil "Waras di Zaman Edan" di rak bertuliskan "Humor".

Friday, 19 August 2016

Ulasan Buku: Kesetrum Cinta oleh Sigit Susanto





Akhirnya tuntas sudah rasa penasaran akan buku baru terbitan Mojok Jogja yang satu ini.

Setelah beberapa saat terbit, kemudian ulasannya muncul di blog Mas Tanzil, akhirnya dengan (sedikit) perasaan menggebu-gebu saya memutuskan harus segera membacanya. Tema buku ini yang menarik semakin menguatkan saya untuk tidak berlama-lama mengontak Mas Eka Pocer. Singkat cerita. Sebelum hari kemerdekaan kemarin, di tengah cuaca siang hari yang galau-kadang terik dan gerimis- saya rela berjalan kaki ke kantor pos untuk menjemput buku ini. Niatnya menghabiskan waktu liburan singkat untuk membaca buku-buku Indie Jogja.


Meskipun tidak kenal secara pribadi, saya langsung beranjak masuk ke dalam kehidupan Mas Sigit. Buku ini terasa sangat personal. Jauh lebih berani "buka-bukaan" ketimbang buku lainnya. Hehehe.
Geger budaya yang dirasakan pasangan suami istri ini rasanya bisa dikelola sedemikian rupa, saling mengisi. Indahnya kebersamaan.

Kisah jenaka pria Jawa menikah dengan perempuan Swiss ini adalah bacaan yang menghibur. Bacaan pelepas penat yang tidak ada duanya. Selamat membaca.


Kesetrum Cinta ditulis oleh Sigit Susanto. Diterbitkan tahun 2016 oleh Buku Mojok. 


Sedikit update: Baru-baru ini novel terjemahan "The Trial" karya Kafka oleh Sigit Susanto yang berjudul "Proses" diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. The Trial is a novel written by Franz Kafka from 1914 to 1915 and published in 1925. Dilihat-lihat. Ini salah satu buku incaran saya.

Tuesday, 26 May 2015

Review Buku Seperti Bulan dan Matahari, Catatan Seorang Diplomat Amerika




CATATAN tentang kehidupan budaya, agama, dan politik di Indonesia sebagaimana yang dilihat lewat kacamata Stanley Harsha, seorang mantan diplomat Amerika Serikat yang terlibat “love affair” dengan Indonesia selama hampir 30 tahun. Menunjukkan keluasan wawasan penulis soal budaya Nusantara yang beragam, termasuk wawasan tentang etika dan adat perkawinan Jawa yang ia dapat dari calon mertua.

BUKU berisi kajian perbandingan antara masyarakat dan budaya Amerika Serikat dan Indonesia, dua bangsa yang kini sama-sama memiliki pemimpin populis, Barack Obama dan Joko Widodo (Jokowi); serta cerita tentang hari-hari yang mencekam di Kedubes AS di Jakarta, saat merebaknya gelombang demonstrasi anti-AS pasca-serangan 11 September 2001 dan penyerbuan AS ke Afganistan.




Wednesday, 20 May 2015

Review Buku Halaman Terakhir oleh Yudhi Herwibowo.


Halaman Terakhir
Yudhi Herwibowo
Noura Books, 2015.


"Orde Baru, suatu masa …
Hoegeng sedang diuji. Dua kasus besar mencuat, mencuri perhatiannya yang kala itu menjabat sebagai Kapolri. Dua kasus yang membuatnya terbentur tembok raksasa dan menguji integritasnya sebagai seorang polisi.

Kasus pertama adalah Sum Kuning. Kasus pemerkosaan yang menggegegerkan Kota Yogyakarta. Meski telah menggali amat dalam, selalu ada batu yang mengganjal usahanya menemukan pelaku. Berbagai gangguan mengalihkan penyidikan dari bukti dan fakta.

Kasus kedua adalah penyelundupan mobil mewah. Keterlibatan seorang putra pejabat tinggi di tanah air membuat kasus ini sulit menyentuh dasar masalahnya. Seolah para pelaku telah mengantisipasi langkah Hoegeng dan anak buahnya, semakin dalam penyelidikan, semakin bukti itu menghilang.

Kasus-kasus itu terus membayangi Hoegeng, membebani nuraninya. Mampukah Hoegeng, sang polisi jujur, menutup mata dan meninggalkan sesuatu yang telah dimulainya itu?
Halaman terakhir adalah sebuah drama perjalanan dua kasus terbesar yang pernah ditangani Hoegeng."

Thursday, 7 May 2015

Review Buku 100 Hari Keliling Indonesia

100 Hari Keliling Indonesia.
oleh Tim 100 HKI.
Diterbitkan 2015 oleh Penerbit BIP.




Buku yang mengisahkan perjalanan Ramon Y Tungka dan tim 100 Hari Keliling Indonesia adalah bacaan wajib penikmat perjalanan maupun siapa saja yang cinta akan Indonesia. FYI 100 Hari Keliling Indonesia lahir dari Kompas TV yang dikenal sebagai stasiun televisi yang rajin mengangkat keindahan Indonesia. Program ini secara rutin menemani pemirsa untuk menjelajahi Indonesia dan mengulik segala keragaman yang ditemui. Hingga kemudian program ini hadir dalam format buku, lengkap sudah pencapaian yang dibuat tim 100HKI. Satu hal yang layak untuk diapresiasi karena buku ini melengkapi dokumentasi video yang telah digarap dengan baik. Buku ini akan mampu (setidaknya) menangkap apa saja yang berada di benak para aktor di balik program 100HKI.



Thursday, 23 April 2015

Review Buku Seribu Senyum dan Setetes Air Mata




Buku ini merupakan kekayaan yang berharga untuk dinikmati generasi modern. Kumpulan esai Myra Sidharta yang dikumpulkan dalam judul "Seribu Senyum dan Setetes Air Mata" sangat menarik dan layak untuk direnungkan kembali. Dewasa ini kita cenderung melihat segala sesuatu dengan cara yang instan. Tampaknya makin modern, begitu berbeda dinamika yang dirasakan orang Indonesia pada umumnya. Tante Moy dengan jeli melihat fenomena sosial budaya di masanya. Berkat luasnya relasi yang dibangun, beliau dapat menghasilkan esai-esai bermutu dan sedap dibaca. Niscaya setiap pembaca akan tersentak, terhibur, bahkan sampai ketagihan membaca. Sejatinya kebhinekaan di dalam Indonesialah yang menginspirasi penulis menghasilkan karya yang tak lekang oleh waktu. Penulis berhasil merekam jejak sejarah dalam bentuk yang paling dapat dinikmati semua kalangan. Lewat tulisannya kita seakan diajak menatap tilas kehidupan. Indonesia yang adalah permata hati. Betapapun kondisi yang terjadi, dia tetap melekat di sanubari.

Thursday, 22 January 2015

Review Buku Eat Play Leave Jenny Jusuf


Eat Play Leave
Penulis : Jenny Jusuf
Penyunting : Nurjannah Intan
Penerbit : Bentang Pustaka
Rating: 3/5.

Bukan kamu yang memilih Ubud. Namun Ubud yang memilih kamu.


Kota dekat kaki gunung ini menawarkan sejuta pesonanya untuk para pendatang yang ingin sekedar berlibur atau mencari kehidupan yang bebas dari hingar bingar kota besar. Di buku inilah kisah para pendatang Ubud dari luar negeri diceritakan dengan gaya penulisan yang ringan dan sedikit komikal.


Ubud selain memiliki pemandangan yang menakjubkan, i mean it. Dan Orang-orang yang ramah dan bersahabat disana membuat Ubud memiliki auranya tersendiri yang sanggup melahirkan begitu banyak inspirasi. Terbukti beberapa tahun terakhir ini banyak penulis yang menjadikan Ubud sebagai setting tempatnya bukan?


Eat, Play, Leave menarik buat kamu yang penasaran apa saja manis pahitnya kehidupan para kaum ekspat yang terkenal dengan film " Eat Pray Love".

Wednesday, 3 December 2014

Review Buku Java Beat in The Big Apple Marzuki "Kill the DJ" Mohamad



Judul Buku: Java Beat in The Big Apple
Penulis: Marzuki "Kill the DJ" Mohamad
Cetakan 1, November 2014.
Penerbit: POP, Imprint KPG.


"Jogja Jogja tetap istimewa...
Istimewa negerinya istimewa orangnya.."

Inilah lirik awal lagu yang paling ngetop jika ditanya kepada warga Jogja. Lagu dengan judul "Jogja Istimewa" yang sanggup membuat orang bergoyang sambil mengepalkan tangan mengikuti beat yang ada membuat saya mengenal Jogja Hip Hop Foundation. Di tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun ke 10 JFH menerbitkan buku jurnal perjalanan mereka ketika diundang ke Amerika sebagai duta budaya Indonesia. Warisan berharga kepada masyarakat Yogya, bahwa dari Yogya @JHFcrew mendunia.
JHFcrew

Lebih tepat buku ini merupakan tulisan yang ditulis dengan hati oleh "Kill the DJ" ketika berinteraksi dengan publik Amerika (memainkan musiknya, bertukar pengalaman dengan berbagai orang, komunitas). Sebagai seorang pendiri dan pemimpin @killthedj berbagi seputar persiapan tur ke Amerika sampai kembali ke Indonesia. Belum adanya perhatian negara di kala itu tidak menjadi alasan untuk tidak berkarya, sebagai duta budaya Jogja mereka terus berkreasi dan mendukung berbagi aktivitas relawan sosial beberapa bulan terakhir.

Salah satu pernyataan menarik yang tertulis disini ketika JHF mengunjungi Amerika adalah kalimat Presiden John F. Kennedy, sederhananya dia mengatakan di kota kita, peradaban kita sesuatu yang akan selalu dikenang adalah kontribusi kita kepada umat manusia. Membaca buku ini kita akan terpukau dengan pemikiran, semangat JHF buat melestarikan budaya Jawa dengan mengenalkannya lewat lagu rap kepada masyarakat luas.

Buku yang ditulis anak petani Prambanan yang mendunia ini wajib dibaca oleh semua penggemar JHF, artis yang ingin bisa mendunia seperti mereka, pecinta musik dan budaya Indonesia.

Thursday, 13 November 2014

Review Buku Robohnya Surau Kami AA Navis



Judul Buku: Robohnya Surau Kami
Penulis: A.A. Navis
Penerbit: GPU.
Buku karangan A.A.Navis ini betul-betul sebuah harta karun di sebuah perpustakaan. Buku lawas ini sudah amat jarang terlihat di toko buku. Terakhir diterbitkan GPU tahun 2006. Dari ke 10 cerita pendek yang ada, semuanya layak dibaca bagi Anda yang ingin mengenal karya sastra Indonesia atau penulis yang ingin belajar cerpen salah satu penulis kawakan Indonesia.

A.A. Navis lewat kumcer ini ingin mengajak pembaca mengikuti jamannya. Bahasanya sederhana namun pilihan kata yang kuat membuat pembaca dengan mudah dapat menikmatinya. Kecuali budaya minang yang mungkin harus sedikit kita pahami terlebih dahulu. Disini terdapat banyak ilmu hidup atau kebijaksanaan yang dapat diserap kepada pembaca. Kesan yang tertangkap adalah penulis piawai menceritakan kehidupan yang menyentuh, juga kadang sangat kejam mengiris hati (Pada Pembotakan Terakhir), selain itu budaya Minang sendiri.

Dimulai dengan cerita "Robohnya Surau Kami", penulis memprotes sikap sebagian orang yang tunduk kepada orang asing yang serakah mengeruk kekayaan Indonesia. Memang dari sanalah kita dapat dengan angkuh bertepuk dada mengatakan inilah negeriku yang indah permai, Gemah ripah loh jinawi. Namun apa arti semua itu jika kita tidak mengusahakannya, bekerja ketimbang malas berdiam diri berfokus pada diri sendiri. Kisah "Topi helm" disini mengajarkan arti kerendahan hati itu merupakan hal yang penting namun sulit dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari ke 10 cerita yang ada, selain "Dari Masa ke Masa" yang menegur kita para generasi muda di jaman modern. Makna ceritanya masih sangat kuat berbicara hingga saat ini. Dengan jelas keprihatianan penulis melihat anak muda. Dulu di jamannya anak-anak SMA sudah jadi komandan batalyon, bergerak di organisasi dan berbuat sesuatu. Sedangkan anak-anak SMA sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Membacanya seakan penulis hendak menampar kita para anak muda. Sampai sekarang masih belum banyak berubah bukan. Kita yang lebih mementingkan prestasi otak dan keahlian, kata penulis. Sepintas kita saat ini pun lebih menilai seseorang dari prestasi yang segudang, sesuatu yang wow. Meski banyak pula tokoh low profile yang jarang diekspos namun punya segudang dampak positif. Nilai individualis yang menjadi perhatian penulis nampak semakin menjadi-jadi sekarang. Bukankah saat ini kita bisa dengan mudah melihat dan membaca kesukesan pribadi menjadi sesuatu yang diagung-agungkan dan dikemas sedemikian rupa dengan label motivasi atau inspiratif.

Kisah Sidin dalam "Penolong" adalah favorit saya. Membacanya membuat kita seakan ikut terjun langsung ketika tragedi kecelakaan kereta api berlangsung. Ketegangan yang dibangun membuat pembaca tidak mampu bernafas sembari menerka akhir jalan cerita. Saya membayangkan akan sangat baik jika kita bisa membaca kumcer-kumcer karangan A.A.Navis yang lain. Memberi sebuah nilai pada kami anak muda yang kering pengalaman dan tidak tahu diri.

Saturday, 11 October 2014

Cantik Itu Luka oleh Eka Kurniawan

Salah satu bacaan wajib di bulan sastra


Judul buku: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia
Tahun cetak: 2004. (Cetak Ulang Cover Baru Januari 2015)



Selepas membaca buku ini, dari skala 1-5 bintang saya memberikan 4 bintang. Saya salut dengan alumni Filsafat UGM ini. Mas Eka membuat karya yang begitu hidup, konfliknya begitu "panas", narasi yang ada membangun sebuah teater imajinasi di benak pembaca. Satu pertanyaan yang muncul sejak membaca 2-3 bab awal, "gila, dari mana mas Eka punya ide atau inspirasi menulis kisah ini?"

Kisah ini begitu kelam, gelap dengan bumbu sejarah dan percintaan yang pas. Buku ini termasuk page turner, kita penasaran akan apa yang akan diceritakan di bab selanjutnya. Hal ini membuktikan Eka rapi dalam mendesain setiap bab di buku ini. Tidak ada satupun cerita yang berdiri sendiri dan tidak penting. Drama kehidupan yang tersaji di buku ini membuktikan penulis lokal bisa menghasilkan karya luar biasa. Saingannya dari segi cerita dan penokohan yang begitu abu-abu hanya a Game of Throne (Yang saya beri 5 bintang).

Satu hal yang patut disoroti adalah obsesi penulis untuk adanya Taman Bacaan di masyarakat. Di halaman 386, diceritakan buku-buku yang luput dari penghancuran akhirnya dipakai untuk sebuah taman bacaan. Anak-anak kecil menjadi pendatang tetap di tempat itu. Disini terlihat sangat jelas pendapat penulis tentang pentingnya sebuah taman bacaan masyarakat. Sedikit menyinggung bulan Oktober yang dipilih sebagai bulan sastra. Harian Kompas jumat tanggal 10 Oktober 2014 menurunkan berita tentang urgensi RUU perbukuan. Hal ini didasari belum adanya gambaran jelas kebutuhan pembaca Indonesia. Diharapkan oleh adanya UU ini masyarakat dapat lebih dipuaskan oleh buku-buku yang diterbitkan penerbit buku Indonesia.

Di akhir membaca buku ini, saya mengurangi 1 bintang. Klimaks cerita yang bagi saya kurang memuaskan, dan seakan dipaksakan. Karya besar Eka Kurniawan ini patut diapresiasi dan layak disandingkan dengan karya novelis internasional. Jika ditanyakan apakah akan membaca buku mas Eka yang lain? jawaban saya adalah wajib. Ada 2 judul yang sudah diterbitkan ulang yaitu Corat-coret di Toilet dan Lelaki Harimau. Untuk Lelaki Harimau tahun depan akan dirilis dalam bahasa Inggris. Jangan sampai kita sendiri di tanah air terlambat dengan pembaca luar nanti.

Update 1 November 2015. Publisher Weekly, salah satu situs penerbitan terkemuka dunia menunjuk Beauty is a Wound sebagai 10 karya terbaik 2015. 

NB: Buku ini akhirnya dapat dibaca setelah meminjam dari Perpustakaan Nasional Maluku.

Thursday, 28 August 2014

Review Buku Mirah dari Banda Hanna Rambe


Drama kehidupan Banda, Pengantin Maluku




Judul buku: Mirah dari Banda
Penulis: Hanna Rambe
Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Edisi ketiga, tahun terbit 2010.

Tampak Banda dari udara
Buku ini terpilih untuk direview karena posting bareng BBI di bulan Agustus bertema nusantara. Buku ini pun secara tidak sengaja saya temukan di Perpustakaan Bank Indonesia kota Ambon. Terima kasih untuk keramahan dari para staf sehingga saya bisa dibolehkan meminjam buku. Lewat membaca blurbnya saja saya sudah merasa novel ini akan sungguh memikat. Tema sentral buku ini adalah buah pala (Myristica fragrans) yang mendunia. Mirah dari Banda menghadirkan drama kehidupan seorang gadis pekerja kontrak pala di Banda, sang pengantin Maluku.

Fuli dan pala
Dari awal membaca buku ini, kita diajak untuk menyelami dialek dan eksotisme daerah Maluku. Penulis berhasil membenamkan pembaca di dalam cerita yang dibuat. Ada kala kita merasakan keriangan, kegembiraan, namun ada juga kegetiran hidup, kepahitan hidup. Lewat tulisan yang luar biasa detail, narasi yang ada tidak menjemukan pembaca. Mirah dari Banda menangkap atensi pembaca dengan menampilkan daerah Maluku dengan segala kelebihannya. Pembaca dapat menangkap sejarah bagaimana daerah Maluku sejak berabad-abad silam sudah begitu kosmopolitan. Kedekatan sosial antara orang Belanda dan Maluku nampaknya bermula dari sini. Dianugerahi dengan kekayaan alam yang luar biasa, juga kuliner yang tidak kalah pentingnya. Para pembaca dapat ikut menikmati indahnya berwisata ke daerah Maluku lewat buku ini, mungkin juga akan meneteskan air liur ketika membaca deskripsi makanan khas laut yang nikmat di lidah.
Perahu Banda


Cerita ini bermula ketika seorang gadis blasteran asal Australia bernama Rowena Higgins alias Wendy yang berkunjung ke Banda bersama para sahabat untuk sejenak berlibur. Sosok jelita & cerdas yang tergila-gila dengan banyak hal yang dapat dipelajari dari kebudayaan-kebudayaan dunia. Salah satu penyebabnya adalah keinginan hatinya untuk mencari tahu asal usul kehidupannya sendiri. Sepenggal cerita yang dia ketahui adalah orangtuanya terpisah akibat keganasan perang. Wendy pun seperti ditakdirkan oleh sang pencipta akan bertemu dengan seorang nenek yang bekerja di rumah tempat ia menginap. Sang nenek yang bernama Mirah, kemudian menceritakan perjalanan kehidupannya yang pahit sekaligus manis. Mirah yang jago memasak, ternyata memiliki jalan hidup yang amat berat. Sejak kecil hingga masa tuanya, orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkannya. Mirah hanya mampu bertahan menghabiskan hidupnya di tanah Banda, tempat yang begitu berarti dalam kehidupannya. 

Peta selam di kepulauan Maluku
Di novel ini pembaca akan mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan Maluku. Mulai dari sejarah datangnya bangsa Belanda ke daerah Maluku. Awal mula kedatangan bangsa-bangsa besar di dunia ke tanah nusantara. Semuanya karena komoditas paling bernilai saat itu, yaitu pala dan fuli. Penulis menceritakan sejarah dengan amat baik, narasi yang cerdas dibalut dengan romansa yang memikat. Pembaca disuguhkan sebuah pelajaran sejarah yang mungkin tidak ketahui sama sekali sebelumnya. Satu hal yang sungguh menggoreskan hati ketika membaca novel ini adalah bagaimana perbudakan telah terjadi sekian lama di bumi nusantara. Tidak perlu membayangkan bagaimana kesulitan hidup yang terjadi di jaman tersebut. Sepenggal contoh kehidupan budak kontrak dapat dilihat di film 12 Years a Slave. Di perkebunan pala, bisa jadi tidak separah seperti yang dialami budak belian di film tersebut namun luka batin dan trauma yang membekas telah menggoreskan sebuah luka yang amat dalam kehidupan masyarakat Banda. Bagaimana oleh sebuah perebutan komoditas pala dan fuli, sebuah generasi Banda hampir punah. Ketika semua pembesar pengurus kebun pala yang notabene masyarakat asli Banda dihabisi oleh Belanda. Hanya beberapa keluarga yang diceritakan berhasil selamat.


“Wendy tak dapat memutuskan apakah pohon berbuah emas yang harum itu sebuah berkat atau laknat bagi suku banda yang malang. Ia pun sering tak mengerti mengapa ada bangsa atau kelompok yang merasa senangn menundukkan atau menjajah bangsa atau kelompok lain. Bukankah setiap manusia di muka bumi sama dan sederajat di mata Tuhan yang menciptakannya? Hal 123.

Banda yang dulu menjadi tempat yang paling ingin dikuasai dunia sekarang merana. Kerisauan penulis tertuang disini 



“ Sekarang Banda menjadi tempat yang sunyi senyap dan terpencil dari dunia luar. Tak banyak lagi orang yang ingat kepada keindahannya, kepada pala dan fuli-nya. Bahkan anak sekolah zaman sekarang mungkin tak pernah mendengar tentang Pengantin dari Maluku. Kami ini hidup dalam kenangan masa lalu yang indah, yang tak akan kembali lagi. “ hal 92

Penulis juga mengungkapkan keprihatinannya tentang hal ini. Apakah di satu sisi pala memberi kehidupan yang baik ataukah memberi sebuah dampak negatif yang tidak dapat dihindari.


Buah penghasil emas
“Salahkah Tuhan menciptakan dan menganugerahkan pala kepada penduduk Banda? Tidak. Tuhan tidak pernah bersalah bukan? Tuhan Mahatahu, Mahakuasa, dan sempurna. Manusialah yang tidak pandai menghargai karunia-Nya. Manusia habis dicabik-cabik oleh egoisme.” Hal 373.

Tidak seperti yang saya sangka bahwa pala hanyalah sebatas pemanis dapur, sebatas penambah kesedapan masakan oleh ibu-ibu. Beragam fungsi pala membuatnya sangat bernilai di masa silam.


"Fungsi pala sebagai obat pengawet ternak dan ikan, ratusan tahun sebelum orang menemukan mesin pendingin. Obat-obatan, minuman alkohol. Sedangkan fuli, pembungkus biji pala dapat menjadi minyak yang sangat berharga di Banda. Orang Banda menyebutknya sebagai minyak ajaib, dipakai menyembuhkan segala macam penyakit termasuk masuk angin. Buah yang dipilih untuk minyak tersebut harus yang segar, gemuk banyak sarinya, serta tak berlubang. Khasiat lainnya untuk mempercantik kulit, menghalau nafas berbau, menjernihkan pandangan yang kabur, menghangatkan perut yang mulas dan membantu mencerna makanan sehabis pesta besar"


Sampai sekarang pun pala, cengkeh masih menjadi tumpuan hidup masyarakat Maluku. Minggu lalu sekilo biji pala kering yang dibeli di tempat penimbangan hasil bumi di Ambon bernilai Rp.150.000. Cukup tinggi bukan? 

Mira dari Banda layak untuk dibaca dan dikoleksi, cerita yang luar biasa dan memikat ini akan mewarnai kehidupan Anda. Mengenal keragaman Indonesia. Bukankah kita harus belajar dari sejarah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Kisah ini direkomendasikan untuk dibaca bagi Anda masyarakat Maluku, pecinta fiksi sejarah, penyuka cerita romansa berbalut sejarah. Selamat menikmati karya sastra ini dalam kehidupan Anda.