Showing posts with label Non fiction. Show all posts
Showing posts with label Non fiction. Show all posts

Thursday, 11 July 2024

Review Buku "Belajar Marketing Belajar Hidup" dari Henry Manampiring (2024)

 


Memaknai hidup dari belajar marketing. Dimulai dari tahu bedanya sales sama marketing. 

Om Piring, bikin buku marketing. Sekaligus buku pengembangan diri. Henry Manampiring menerbitkan buku baru berjudul “Belajar Marketing Belajar Hidup” Juni 2024. Dikenal lebih dulu lewat bukunya yang mega best seller, “Filosofi Teras”, Henry menerbitkan novel “Hitam 2045”, kemudian nonfiksi filsafat “The Compass”.

Saya kutip dari Kompas.id, ”Dari dulu saya enggak mau menulis buku marketing. Pertama enek karena marketing itu pekerjaan, masak yang ditulis itu lagi? Kedua, buku marketing udah banyak. Sampai akhirnya akhir tahun lalu kesambe, dapat wangsit. Saya terpikir gimana kalau marketing ini digabungkan dengan pengembangan diri? ” kata Henry dalam peluncuran buku Belajar Marketing Belajar Hidup di Kompas Institute, Jakarta, Sabtu (29/6/2024).

Saat promonya digeber di Instagram Penerbit Buku Kompas. Saya langsung ancang-ancang untuk membelinya di masa preorder. Saya memesannya di Shopee “Patjarmerah” dengan keunggulan gratis ongkos kirim. Fitur ini baru saya jajal belakangan. Sebelumnya pembelian buku selalu dilakukan di lokapasar ijo. Setelah bukunya sudah tiba di tangan pembaca. Saya cek di ig PBK. Selang beberapa hari. Patjarmerah pun mengirimkan buku Om Piring ke Ambon. Syukurlah, jadi bisa segera dibaca. Bagaimana kesan saya atas buku terbaru Om Piring ini? Bagus dan layak dikoleksi kah? Simak bersama di tulisan ini sampai akhir.

 

Pertama, kita lihat sampulnya dulu. Sampulnya cakep! Sampul depannya gress. Apalagi bagian belakangnya. Saya kira inovasi sampul ini keren banget dan bikin orang penasaran buat beli. Lalu apa sih isi buku ini? Yaa. Secara umum, ada dua hal yang diungkapkan penulis dalam buku ini. Soal marketing lalu disambung dengan aplikasinya dalam hidup kita. Aku membaca buku ini tidak sekali duduk. Aku nikmati seperti lagi duduk nongkrong sama Om Piring. Dengerin apa pengalaman Om Piring gitu. At the end, seru abis bukunya. Aku dapat pengalaman dan ilmu yang lumayan. Selain terhibur tentunya. WAAAH paket lengkap dong ya.. ^^v Dapet ilmu, dapat terhiburnya juga. Hahaha.. Tapi beneran itu kesan saya membaca buku ini loh.

Hal yang saya sukai dari buku ini adalah: Ini buku tapi nggak berasa buku. Nah Loh! Di awal buku ini, penulis udah ngasih tahu klo ini semacam tumpahan isi kepala penulis. Anggap aja dengerin om-om cerita. Di sini kita udah bisa lah ya, ngasih ekspektasi isi bukunya. IMO. Buku ini beda dari buku-buku lainnya karena: ini kayak lagi diceritain panjang lebar sama orang. Dan saya ternyata suka dengan jenis nonfiksi naratif seperti ini. Di kemudian hari, saya nggak keberatan untuk baca buku nonfiksi. Dengan aliran narasi seperti sebuah obrolan.

Hal lainnya tentu saja adalah pengalaman soal marketing. Pula aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Om Piring seru dalam membahas perihal dunia marketing dan pengembangan diri. Saya menunggu untuk bisa baca buku selanjutnya. Sukses dan salam sehat untuk Henry Manampiring.

Overall: TOP dah! Saya merekomendasikan buku ini pada semua orang. Mau muda. Mau yang udah masuk usia pensiun. Silakan simak buku terbitan Buku Kompas ini.

 

 

Thursday, 4 July 2024

Ulasan Buku “Gongka” dari Frisca Saputra (2024)

 

Cerita Gongka hangat dan mengesankan.

 

Ketika tahu Frisca Saputra akan menerbitkan buku seputar kehidupan di Pecinan, aku langsung tidak sabar untuk membacanya. “Gongka” cerita-cerita dari Pecinan Jakarta dibuat saat penulis mengikuti kelas penulisan yang diampu oleh Reda Gaudiamo. Buku ini akan dirilis saat Patjarmerah Kecil di Jakarta. Saat ada pengumuman buku ini bisa dipesan terbatas. Aku tidak pakai lama untuk segera pergi ke lokapasar dan membelinya bersama buku ide cerita mbak Reda. Seperti apa keseruan buku ini? Mari ikuti tulisan ini.

Mari kita lihat sampulnya lebih dulu. Terbitan baNANA ini covernya lucu dan menggemaskan. Ada anak kecil yang ceria (Si Gongka, nih!) yang sedang berada di sebuah jalan dengan tiang listrik berkabel kusut. Judul Gongka – Cerita-cerita dari Pecinan Jakarta berada di tengah kanan dengan warna hitam berbentuk gemas. Ada nama penulis Frisca Saputra dan diikuti nama ilustrator isi buku ini Lina Kusuma Dewi. Ilustrasi di dalamnya jempolan!

Secara umum isi buku ini apa sih? Di Gongka, kita diajak sama Cik Frisca untuk menengok masa kecilnya di daerah Pecinan. Berisi kumpulan tulisan pendek yang bisa kamu baca sekali duduk. Aku cuplik beberapa judul tulisannya supaya bikin penasaran: Senio, Imlek, Pengukiran Lima, Gloria dan Kenangan Tiada Dua. Dimulai dari perkenalan anggota keluarganya, lalu ada Pak Udin yang ngebantu usaha kue di rumah, berlanjut keseharian dan pengalaman penulis berinteraksi dengan tetangga sekitar. Seru deh pokoknya! Ternyata ini adalah bagian dari Cerita Istimewa dari penerbit baNANA. Cerita personal mengenalkan pengalaman seseorang di tempat ia tinggal.

Apa yang aku sukai dari buku ini? Semuanya. Dari ceritanya sampai ilustrasi di dalamnya yang lucu. Aku suka dengan pengalaman yang dibagikan penulis akan kesehariannya. Aku jadi tahu bagaimana rasanya tinggal di Pecinan. Aku jadi ngerti dikit suasana di keluarga Cina Jakarta. Mama yang selalu sibuk. Rame-rame bikin kue. Rumah yang dihuni banyaaak orang dan segala perlengkapan masaknya. Mengunjungi pusat perbelanjaan. Naik becak. Makanan-makanannya yang bikin penasaran (Ada resepnya juga loh!). Papa yang dengan rasa sayangnya, memanggil “Gongka”.. Duh, rasanya kurang tebel cerita bukunya.. Tapi tidak apa lah. Gongka sudah berbagi ceritanya, aku udah bahagia.

Gongka, aku rekomendasikan untuk pembaca yang menyenangi nonfiksi naratif. Penyuka cerita personal pasti suka dengan buku ini. Semua orang yang membaca review ini.

Saturday, 2 December 2017

Review: Talking to My Daughter About the Economy: A Brief History of Capitalism



"Ekonomi tak pernah semenarik dan sepenting itu sampai membaca Yanis Varoufakis."


Buku bersampul merah oranye ini tidak butuh dua kali pikir untuk masuk dalam daftar belanjaan saat mengunjungi Kino kemarin. Sebenarnya saya juga nggak tahu judul ini kalau nggak ngintip stories mas Wisnu di Inggris sono. Judulnya nggak menggugah amat. Talking to My Daughter About the Economy: A Brief History of Capitalism. Cuman nggak ada ekspektasi apa-apa saat itu. Satu hal yang saya yakini, buku ini lumayan bagus-pasti-isinya.

... Dan benar saja, sejak membaca babak pembuka, tidak butuh waktu lama untuk saya segera menamatkan buku ini. Karena storytelling yang memukau dan Yanis mampu memberikan informasi bermutu di saat yang sama. Benar-benar asyik. Serasa dapat kuliah 1 sks soal ekonomi gitu. Hahaha.

Buku ini cocok nih, kalau kamu pengen baca buku yang "ringan" tapi bahasannya menantang & mencerahkan seperti ekonomi (dalam buku ini). A-Z kapitalisme diceritakan dengan tuturan cerita yang asyik dan menggelitik.



Seseorang belum menguasai sepenuhnya bidang yang ia geluti (andai dia seorang profesor, atau akademisi, atau apa lah, seorang aktor film mungkin), jika ia belum dapat menjelaskan pemahamannya sesimpel mungkin kepada orang lain. Lalu orang lain pun bisa ngikutin.

Lewat buku ini kita akan sama-sama mengikuti perjalanan sang ayah yang sedang bercerita kepada anaknya tentang asal muasal kapitalisme. Iya betul, semacam Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda karya Gombrich. Just sit and chill out.***


Apple, Amazon, Facebook, dan Google, belum lagi yang lain. Kita mengenal dunia kapitalis yang berpusat pada seberapa banyak keuntungan yang dihasilkan untuk korporasi. Tapi bagaimana kita sampai menuju ke arah tersebut? Yanis-yang juga menteri Yunani, iya Yunani yang terpaksa harus menerima bail out, karena bangkrut beberapa tahun silam-menjabarkan soal mengapa ketidakadilan bisa lahir, dua macam nilai yang dikenal manusia, lahirnya market societies hingga usaha "menjinakkan" raungan kapitalisme.

Pertama-tama ada experiential value dan exchange value.

Di awal-awal sebelum era kapitalis tiba. Experiential value dirasa dimaknai kebanyakan orang dibanding exchange value. Ditolong orang saat tanganmu kejepit roda sepeda misalnya. Tanpa pamrih mendonorkan darah di PMI.

Keadaan sedikit demi sedikit berubah ketika segala sesuatu dijadikan komoditas, semua (barang, jasa) diberi label harga pasar, yang merefleksikan seberapa besar exchange value yang bisa diberikan.

Tapii, please, jangan minta gratis apalagi harga temen yang "bikin miris" juga pas make jasa teman atau kenalan. Ok, saya nggak mau terkesan menggurui.







Significant moment in the book:

"Oscar Wilde wrote that a cynical person is someone who knows the price of everything but the value of nothing. Our socities tend to make us all cynics. And no one is more cynical than the economist who sees exchange value as the only one value, trivializing experiential value as unnecessary in a society where everything is judged according to the criteria of the market."


Lewat cerita dan lebih banyak penjelasan yang seru, contohnya di "Haunted Machines" sang penulis mengajak pembaca (termasuk si Xenia, anaknya) melihat efek dari penggunaan teknologi di market societies bertendensi memperbudak orang-orang di dalamnya ketimbang membebaskan. Saat ini kita sudah nggak asing lagi. Denger dan lihat di sosmed. Tentang kemampuan robotik yang semakin hari semakin mirip manusia. Jangan-jangan kelak pekerjaan manusia akan dihapuskan, karena lebih mudah dikerjakan oleh robot. Nggak butuh istirahat dan nggak bakalan capek kerja. Minim tuntutan. Bisa kebayang kan: Industri masa depan yang gemilang.

Tapi di saat yang sama jangan lupa kisah Frankenstein, Blade Runner, yang juga baru saja rilis sekuelnya, jangan sampai teknologi ciptaan manusia jadi bumerang (istilahnya). Nah si penulis mengupas film The Matrix.

(Sesaat setelah menamatkan buku ini, saya kemudian menonton The Matrix (1999), dan luar biasa, film ini bagus banget, iya betul, itu film udah lama bangeet, tapi nggak apalah, lebih baik telat, daripada nggak, ya.)

Situasi dimana AI (komputer) yang menjadikan manusia sebagai budak. Untuk diambil energi hasil metabolismenya. Karena bila tidak diberikan ruang untuk hidup, berekspresi, manusia bakalan stres dan terlebih itu, pasti nggak mau kan dikerumuni kabel-kabel, hanya untuk diambil panas tubuhnya. Makanya si AI merancang sebuah sistem, dimana manusia tetap nyambi ngapain, kerja, dll, tapi realita tersebut hanya dimainkan di pikiran. Aslinya mereka ada di dalam semacam peti berisikan cairan yang menyuplai nutrisi, tanpa pernah tahu keadaan sebenarnya seperti apa.

Tapi tentu saja, sebagai seorang ahli ekonomi, penulis punya pendapat tentang situasi tersebut. Andai kata. Mesin dan lebih banyak mesin yang terpasang. Lalu nggak ada pekerjaan lagi buat masyarakat kebanyakan. Lalu produk tersebut akan dibeli siapa? Kan udah nggak ada income tuh ceritanya. Jadi penggunaan 100% mesin juga nggak ngaruh akan meningkatkan jumlah profit yang didapat kan.

Kira-kira itu situasi rumit yang mungkin jadi skenario, kalau human labour disingkirkan. Jawaban dan lebih banyak lagi hal-hal yang dielaborasi penulis bisa Anda temukan di dua bab terakhir. The Dangerous Fantasy of Apolitical Money dan Stupid Viruses?

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca. Bagi Anda yang gemar membaca buku nonfiksi yang bagus, penikmat ekonomi, atau seseorang yang penasaran bagaimana kapitalisme bekerja, dan ingin tahu cara bertahan-bahkan-menjadikannya lebih manusiawi, ini buku yang wajib Anda baca.



Sunday, 20 August 2017

Jokowi Melawan "Debt Collector" Salim Haji Said - Review


Catatan politik membedah kekuasaan dan masyarakat.




Terbitan Penjuru ilmu ini saya temukan secara tidak sengaja sebenarnya. Buku setebal 253 halaman tersebut berisikan catatan politik seorang ilmuwan politik Indonesia yang berusaha membedah kekuasaan dan relasinya pada masyarakat. Rangkuman peristiwa yang dikomentari, diberi konteks, dan terlebih itu menyajikan pendapat khas jurnalis yang kritis. Pembacaan buku ini sarat dengan informasi. Tambahan pula kumpulan kolom dan komentar Salim Haji Said ini boleh dibilang sebuah oase bacaan sospol kekinian yang ditulis dengan gaya dan pandangan yang menarik.

Monday, 17 July 2017

(Review) Quiet Leadership: Winning Hearts, Minds and Matches by Carlo Ancelotti

"Membongkar isi kepala Don Carletto"




Membaca buku ini membuat saya respek akan keberhasilan tim AC Milan sewaktu masa jaya di era milenium. Sebagai fans Inter (saya merasa begitu) waktu itu, saya cukup heran akan keberhasilan mereka. Sekarang apa yang menjadi ramuan keberhasilan tersebut dengan gamblang bisa kita temui di buku ini. AC Milan adalah keluarga bagi sang manager. Membangun tim dengan titian rasa, bukan sekadar mengambil jalan pintas meraih megabintang dari klub latin, misalnya.

Jika dibandingkan dengan Leading milik Sir Alex, Quiet Leadership terkesan monoton, banyak repetisi, dan kurang mengungkap bumbu-bumbu dalam dunia sepakbola. Saya berharap kelak Don Carlo akan membuat buku semacam itu.

Bapake hampir melatih Liverpool. Uhukk.. Realita di lapangan (baca: pemain mokong): santapan sehari-hari yang harus dihadapi pelatih. Berlusconi memang terlalu! itu semua membuat membaca buku ini terasa penuh kegembiraan dan sedikit kekecewaan. Karena itu tadi, bukunya terasa singkat.


Sebagai hasil akhir membaca buku ini. Saya bisa mengambil simpulan. Jatuh bangun sebuah klub bola. Bukan hanya dari identitas klub itu semata. Tapi sebagian besar oleh kiprah para pemain. Sisanya adalah kerja keras sang pelatih di dalamnya.


Sharing berkelas dari sang master ini merupakan bacaan yang taktis. Banyak hal yang bisa diambil sisi positifnya. Di tiap akhir bab, tersedia poin pembelajaran yang bisa diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Carlo Ancelotti saat ini memimpin tim asal Jerman, Bayern Munchen, sepeninggal Pep Guardiola. Mantan playmaker handal AC Milan ini berupaya mengangkat pamor Munchen ke tingkat tertinggi eropa.

Buku ini saya rekomendasikan untuk penggila klub AC Milan dan khususnya penikmat bacaan bertema olahraga.

Tuesday, 10 May 2016

Book Review Narconomics: How to Run a Drug Cartel by Tom Wainwright




Langit berawan tebal memenuhi langit La Paz, Bolivia saat Tom Wainwright, 34 tahun bersiap menjelajahi pusat perdagangan kokain dunia. Bersama sang supir yang dipanggil bin Laden-karena jenggot hitamnya yang menjuntai sepanjang enam inci melewati dagunya-menaiki Toyota Land Cruiser bercorak abu gelap, keduanya mulai mendaki dari ketinggian 10.000 hingga 13.000 kaki menuju pegunungan Andes, tiga kali lebih tinggi dari Kathmandu di Himalaya. Mobil mereka melaju membela awan-awan, hingga terkadang sekilas terlihat hamparan salju di sisi lain lembah.

I am. Here in the Andes is where the cocaine trade, a global business worth something like $90 billion a year, has its roots. Cocaine is consumed in every country on earth, but virtually every speck of it starts its life in one of three countries in South America: Bolivia, Colombia, and Peru. The drug, which can be snorted as powder or smoked in the form of crystals of “crack” cocaine, is made from coca plant, a hardy bush that is most at home in the foothills of the Andes. I have come to Bolivia to see for myself how coca is grown, and to find out more about the economics at the very start of the cocaine business’s long, violent, and fabulously profitable supply chain.” p.10.



Tom Wainwright

Narconomics sejak awal memberikan “petualangan” seru dan begitu banyak insight perihal dunia narkotika. Premis buku ini menarik. Inilah buku manual bagi para gembong narkoba. Tapi juga sebuah blueprint untuk bagaimana mengalahkan mereka.

Meski ditulis berdasarkan riset yang beroperasi di wilayah Amerika dan sekitarnya. Beberapa informasi dan temuan-temuan di dalamnya dapat diadaptasi di Indonesia.

Tuesday, 19 April 2016

Review Buku Fenomenologi Wanita Ber-high heels by Ika Noorharini.

Mencoba mengungkap magisnya high heels bagi wanita modern.



Bagi sebagian besar orang khususnya kaum pria pasti memiliki seribu pertanyaan terkait kecintaan kaum wanita dengan sepatu high heels. Ika Noorharini dalam buku terbarunya yang berjudul "Fenomenologi Wanita Ber-high heels" akan membawa pembaca untuk menjelajahi dunia wanita dan sepatu bertumit tinggi.

Dewasa ini wanita tidak ragu untuk ikut bersaing dalam dunia kerja yang dinamis. Adapun beragam profesi yang ditekuni mereka, wanita pekerja kerap diidentikan dengan pengguna high heels. Seperti yang diakui oleh Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dalam "Situasi Perempuan: Diri yang Terbelah" yang dimuat dalam TEMPO Edisi Khusus Perempuan (18/4/2016) bahwa saat ini, "Perempuan muda menginginkan apa yang dimiliki laki-laki, yaitu karier, kesejahteraan, dan kemandirian. Mereka berkiprah di berbagai bidang dan menunjukkan kemampuan dan kegigihan untuk bersaing merebut kue ekonomi yang selama ini dikuasai laki-laki."