Monday, 15 January 2018

Book Review: Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan MemikatJurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat by Agus Sopian
My rating: 5 of 5 stars

Tepat setengah satu siang setelah makan nasi kuning berlauk ikan, acar, perkedel, dan telur saya duduk menuliskan ulasan buku bagus yang baru selesai dibaca. Biar lebih maknyus. Nasi kuning tadi kutambah sesendok kecil sambal bawang Bu Rudy. Harumnya khas. Pedasnya jangan ditanya. Soal sambal botol yang belakangan selalu menemani menu ini kita bahas di lain waktu.

Judulnya: "Jurnalisme Sastrawi" Edisi Revisi. Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Sekadar tambah informasi. Dari buku inilah lahir antologi "Narasi", terbitan Pindai. Seperti judulnya buku ini menyimpan tulisan-tulisan yang memukau. Mulai dari pengisahan pecahnya demo yang berakhir tragis di Aceh, dualisme media waktu kerusuhan Ambon, asal mula majalah Tempo, hingga pengalaman terjun menemani tentara Rajawali di Aceh. Jurnalisme Sastrawi tergolong buku legendaris karena merupakan bunga rampai tulisan bergenre jurnalisme sastrawi milik majalah Pantau. Media pertama yang mengenalkan genre jurnalisme sastra di Indonesia.

Buku terbitan KPG ini saya beli karena melihat stories dari seorang pengamat media yang sedang kuliah luar negeri. Secepat kilat saya mencoba mencari di lapak daring. Rejeki anak soleh. Kebetulan juga sedang promo ongkos kirim. Tak berselang lama buku itu terbang ke Ambon. Pengalaman membaca buku ini akan saya ceritakan di tulisan ini. Semoga suka.


Diterbitkan Mei 2008, buku yang saya miliki sudah menguning lembaran kertasnya. Terselip pula selembar nota makan donat di Dunkin. Mata saya sampai pedih karena fontnya yang terbilang kecil. Tapi bagi saya itu tidak seberapa karena isinya sungguh berkelas.

Ada 8 cerita dari 8 jurnalis berbeda yang terangkum dalam edisi revisi. Pembacaan pertama, sore itu, dimulai dari "Koran, Bisnis, dan Perang" oleh Eriyanto setelah menelusuri bab pengantar. Saya penasaran dengan bisnis media waktu itu.

Di pengantar, Andreas Harsono, mencoba memberi latar belakang: apa yang membedakan narasi yang disebut jurnalisme gaya baru dengan bentuk laporan jurnalisme umum. Jurnalisme Sastra atau Literary Journalism bukan pekerjaan mudah. Penulisan hasil reportase yang tidak linier seperti hard news, lebih mendalam selayaknya depth reporting, dan tetap mengutamakan disiplin verifikasi fakta di lapangan. Itu kiranya yang membuat Pantau mencoba memberi penghargaan lebih tinggi bagi jurnalis yang mengirimkan laporannya. Sayang Pantau sudah keburu tutup. Namun para jurnalis tempaan Pantau masih bisa kita nikmati tulisannya di berbagai media.

Memang betul membaca narasi seperti di Pindai mengasyikkan betul. Jauh berbeda dari laporan di media biasa. Karya jurnalistik yang dimuat media pada umumnya terbatas. Tidak bisa panjang-panjang. Belum lagi terbentur deadline. Karena penyusunan laporan narasi sendiri dibutuhkan kerja panjang untuk meriset dan menjelajahi berbagai bukti. Bagi yang penasaran bisa lihat majalah "The New Yorker". Dari penuturan Andreas Harsono. Laporan berbentuk narasi yang bagus itu seperti "Hiroshima" John Hersey. Anda juga bisa baca "In Cold Blood." karya Truman Capote. Terbitan Bentang.

Mengutip Septiawan Santana dalam Jurnalisme Kontemporer Edisi 2, "Dalam perkembangannya, sastra menjadi bahan ucap dan ajar di dalam gaya jurnalisme. Penggeraknya, antara lain, ialah Tom Wolfe." Di Indonesia sendiri majalah Tempo pada awalnya juga menghimpun para seniman sebagai penghuni redaksi. Beritanya jadi enak nian dibaca. Meski saya belum pernah membaca Tempo tahun-tahun itu. Itu yang saya tangkap dari pembacaan ulasan-ulasan Tempo, yang diperkuat oleh tulisan Coen Pontoh di buku ini. Perkenalan dengan Tempo pun baru seumur jagung.

Kembali ke laporan mas Eriyanto. Di situ ia mencoba menelusuri bagaimana bisa sebuah kota yang sebelumnya memiliki satu koran harian umum, kemudian pecah hingga menjadi dua kekuatan media yang tumbuh seiring keadaan Ambon yang bergolak. Yang pasti ada nama Dahlan Iskan, dan kelompok Fajar yang berada di dalam pusaran tersebut.

Kemudian. Laporan narasi yang mengagumkan saya temukan di "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft". Betul-betul hidup tulisan Chik Rini. Merinding sekaligus mencekam rasanya membaca tulisan beliau.

Setelah itu ada jeda beberapa lama sebelum saya melanjutkan pembacaan "Jurnalisme Sastrawi". Bacanya dihemat-hemat. Ada buku lain yang dibaca juga. He-he-he.

Awal bulan Oktober. Saya melanjutkan membaca buku ini. Tulisan kedua saya tamatkan sore itu. "Taufik bin Abdul Halim" milik Agus Sopian.

Di tulisan ini Agus Sopian menelusuri salah satu aksi pengebom di Jakarta itu. Di sini saya mendapati informasi-informasi yang memiliki pertalian dengan kerusuhan di Ambon. Sedikit banyak memori saya kembali ke masa-masa kecil saya.

Dilanjutkan dengan "Hikayat Kebo" punya Linda Christanty. Ceritanya mengalir. Asyik diikuti.

Selanjutnya sejarah Tempo ditulis dengan seru oleh Coen Husain Pontoh. Pasang surut majalah Tempo bisa dibaca di "Konflik Nan Tak Kunjung Padam". Isi kulit Tempo yang saya idolakan seakan diperlihatkan di tulisan ini.

Tadi malam 5 Oktober 2017, bertepatan dengan HUT TNI, giliran narasi seru dari Alfian Hamzah yang kubaca. "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan". Betul-betul seru. Kendaraan lapis baja. Ransum tentara. Hingga pantat terserempet peluru. Sisi humanis tentara dan perjuangannya di lapangan diceritakan oleh jurnalis yang memperoleh ijin dua bulan menemani perjalanan tentara. Penuh haru melihat betapa tentara juga manusia. Kangen pacar. Anak istri. Setidaknya ini membuka mata saya tentang apa yang terjadi di Aceh. Di daerah konflik. Laporan tentang Aceh dengan nuansa yang berbeda, misalnya dari tulisan mbak Linda Christanty soal perang di Aceh. Baca Seekor Burung Kecil Biru di Naha (KPG). Rasanya kemarin akan kurang lengkap bila tidak membaca laporan mas Alfian.

"Ngak-ngik-ngok" Budi Setyono tentang keberadaan kelompok musik "Koes Plus" juga begitu informatif. Seru.

Saya baru tahu mereka sempat ditahan karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Bung Karno soal kebudayaan nasional. "Dari Thames ke Ciliwung" soal bisnis air di Jakarta oleh Andreas Harsono menutup pembacaan saya.

Menyambung tulisan Santana, Gay Talese mengatakan, meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Ketika membaca liputan-liputan ini betul saja. Seperti yang diungkapkan Tom Wolfe: sebuah bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.

View all my reviews

Book Review: The Four by Scott Galloway

The Four: The Hidden DNA of Amazon, Apple, Facebook, and GoogleThe Four: The Hidden DNA of Amazon, Apple, Facebook, and Google by Scott Galloway
My rating: 4 of 5 stars

Scott Galloway bukan sekadar berteori tentang keempat kuda penguasa industri digital dunia. Dia seorang serialpreneur, sosok yang jatuh bangun di dunia industri teknologi. Pendiri L2, research firm digital, mengamati dari dekat para titan.

Unek-uneknya seru dan pemaparan yang simpel nan kritis tentang sepak terjang para raksasa itu.

Buku ini harus kamu baca bila: kamu ingin tahu resep makmur Amazon, Apple, FB, dan Google.

Kamu ingin membuat the next big thing di dunia startup,

atau sesederhana bagaimana bisa hidup kita dikelilingi (atau setidaknya dibayang-bayangi) oleh pengaruh para merek tersebut.

Penulis tidak hanya berhasil membukakan mata pembacanya. Ia juga memberikan beberapa tips bagaimana kita bisa berdayaguna di era digital.

Menarik dan membuka wawasan.

View all my reviews

Book Review: Koran Kami With Lucy in The Sky by Bre Redana (KPG)

Koran Kami with Lucy in The SkyKoran Kami with Lucy in The Sky by Bre Redana
My rating: 3 of 5 stars

Membuat koran itu mudah, kawan. Bebas.

Memori. Ini benang merah yang berkelindan sepanjang buku tipis tersebut.

Sepanjang waktu Bre bernostalgia soal masa-masa jurnalistik menjadi vocatio. Panggilan. Hingga simpang surut kehidupan. Era baru muncul. Digital menggantikan yang lama, kuteringat senjakala media cetak kolom penulis di Kompas minggu (yang kemudian ramai-ramai dibahas minggu demi minggu di berbagai media).

Tidak berlebihan ketika membaca Lucy in the sky, seolah kita sedang beriringan mendengarkan petuah-kisah manis-dari sosok yang paham luar dalam isi perut bisnis media.

Saya sendiri menikmatinya. Dari awal ceritanya mengalir. Tak terkesan kita sedang membaca sebuah memoar. Opini Bre kadang meledak di beberapa bagian. Mengkritisi hayat hidupnya yang dulu begitu disegani. Ini bukan pabrik sandal, pungkasnya. Hmm.

Tulisan bergenit-genit ria pun tak menjadi pembatas kenyamanan membaca buku ini. Saya anggap sebagai bumbu pemanis dan itu yang (saya kira, bisa benar bisa keliru) disebut sebagai transedensi humanis. Bumbu ini saya kira bukan hanya sebagai pemanis bahkan boleh dibilang seperti bumbu pelengkap yang tanpanya buku ini rasanya akan datar dan terasa seperti kakek yang mengulangi ceritanya di masa muda setiap kali bertemu. (Saya akui baru membaca sedikit karya jurnalistik Bre Redana, itupun di kumpulan esai yang diterbitkan juga oleh KPG).

Di buku ini terhampar begitu banyak kritikan sengit soal jurnalisme. Meski yang dikritik akan membaca atau tidak. Siapa tahu.

Sudah ah. Saya ingin mendengar podcast yang baru rilis. Menunggu waktu New York ternyata bikin keki. Disini malam, disana sedang segar-segarnya. Judulnya "The Daily" bikinan The New York Times yang berdurasi 20 menit, mengetengahkan apa yang sedang hangat di dunia, dan yang bikin beda (dan jadi Podcast terbaik 2017 versi Vulture.com) adalah ini usaha jurnalisme kawakan dunia (NYT) bikin berita jadi lebih hidup. Coba deh dengar satu podcastnya.

Tiap hari 5 hari dalam semingggu bisa diakses disini The Daily NYT

Buku ini saya kira akan menarik bagi Anda yang punya ketertarikan dengan dunia media. Calon wartawan. Mahasiswa jurnalistik, filsafat pun boleh baca Koran Kami Lucy in The Sky.

Tetap sehat dan berbahagia Bapak dan Ibu.

View all my reviews

Book Review: Dream Big Make an Impact (Penerbit Buku Kompas)

Dream Big Make An ImpactDream Big Make An Impact by Rizkya Dian Maharani
My rating: 4 of 5 stars

Isinya inspiratif dan kekinian.

Ketika anak muda berbisnis dan secara tidak langsung memberi dampak yang begitu besar bagi penyerapan tenaga kerja, meminimalkan dampak lingkungan, dan memberi kesejahteraan dalam arti sebenarnya.

Semua bintang tamu Big Bang Show yang keren-keren ini diberi narasi singkat, latar belakang usaha, prospek usaha dan perjalanannya, tak lupa respon mentor tentang usaha tersebut.

Beberapa produk bisnis yang menarik bagiku adalah jamu, anggur asal Bali, Tas dari sak semen (luar biasa idenya)-jadi ingat kejadian beberapa minggu kemarin, ada pembangunan di sebelah rumah. Sampah sak semen mereka dibakar begitu saja dan kebetulan masuk ke dalam kamar. GrowBox (nanam jamur sendiri).

Well done.

View all my reviews

Book Review: The Mixer by Michael Cox

The MixerThe Mixer by Michael Cox
My rating: 4 of 5 stars

"Narasi Sepakbola yang Spektakular"

Dikemas dalam narasi yang memikat, penulis Zonal Marking, Michael Cox menceritakan bagaimana Liga Premier Inggris berkembang, menjadi salah satu industri olahraga terbesar dunia selain NFL.

Saya (Steven) melihat buku ini pertama kali saat kepo twitternya pundit Bein Spot Indonesia, Pangeran Siahaan. Beli bukunya. Kukira ini buku jadul. Gapapalah, isinya "sejarah" merangkum taktik para klub EPL. Eh ternyata, buku ini diterbitkan di tahun 2017. Dan buku ini menjadi semacam refleksi memperingati 25 tahun berjalannya Liga Inggris.

Sebagai penikmat EPL, walau saya kontinu mengikuti liga ini praktis saat SMA, waktu masa jaya-jayanya Liverpool. Iya waktu tahun 2007-08, jaman old Fernando Torres sedang on fire. Ketika membaca buku ini tetap nyambung, dan saking serunya isi buku ini. Saya bersemangat membaca The Mixer seperti membaca Koran Bola di era sebelum kedatangan internet. Saat analisis dan informasi soal sepakbola dunia, diikuti lewat media cetak dwi mingguan asal ibukota.

The Mixer bisa dikatakan sebagai sebuah pewahyuan bagaimana EPL bisa bertransformasi menjadi liga sepakbola paling digemari sedunia. Cox dengan apik menulis dan membagi analisanya-dengan runtut dan bernas. Bibliografinya saja sampai delapan halaman.

Sebelum membaca The Mixer, karena biografi Steven Gerrard, saya cenderung underestimate dengan Rafael Benitez. Namun after all, Rafa adalah pelatih yang hebat. He don't care his player, but as tactician. As manager. He is a winner after all. Opini saya tentang Rafa kembali pada standar yang selevel ketika ia memenangi gelar bersama Valencia di medio 2000-an.

Saya juga sangat menikmati, sangat relate, as a fans, karena perjuangan Liverpool juga dibedah di bab 22. Rodgers Reversal. Di sana diceritakan, awalnya Brendan Rodgers ingin menaruh filosofi bermainnya secara penuh ke tim barunya. Main possesion. Tapi ketika ditengah jalan, malah berubah. Ia "terlena" dengan kehebatan duo striker terbaik EPL era itu. Stu dan Suarez. At the end of the day, memang Gerrard cs belum bisa meraih gelar liga yang mereka idam-idamkan. Tapi kehebatan keduanya, terlebih Suarez, sungguh fenomenal.

Praktis ketika Anda ingin update soal taktik, perkembangan EPL, buku ini jelas menjadi panduan paling lengkap yang mungkin bisa anda jajaki.

Buku ini saya sangat rekomendasikan untuk para penggemar bacaan sepakbola, media, dan terlebih itu para fans setia klub Liga Premier Inggris.

Bonus podcast The Mixer bisa didengar disini https://audioboom.com/channel/the-mix...

View all my reviews

Monday, 1 January 2018

Selamat Tahun Baru 2018

Photo by Saz B on Unsplash
Pertama-tama HBC mengucapkan selamat memasuki tahun 2018, semoga semua pembaca Haremi Book Corner selalu dalam keadaan yang baik.


Sebelumnya di 2017, saya membaca cukup banyak buku nonfiksi menarik. Juga ada dua karya sastra Indonesia yang jempolan. Saya wajib menyebutkan Dawuk dan Ratu Sekop sebagai karya penulis kita yang layak dibaca akhir-akhir ini.





RC 2017.

Buku-buku yang kudaftarkan di laman Goodreads selama 2017.

Di 2018, saya ingin membabat timbunan, fyuuh~
dan juga membaca sebanyak mungkin buku-buku bagus yang bisa dibeli. Target baca tahun ini 100 buku. Kalau mbak Desty, 102 buku dengan asumsi 2 buku per minggu. Kira-kira seminggu berapa buku ya. Nanti kita lihat deh. Beragam genre yang ingin saya baca di 2018, masih berkisar tentang buku bisnis, teknologi, media. Saya juga ingin baca buku-buku sepakbola. Saya lagi baca "The Mixer".




di 2017, sungguh menyesal Kosmik Mook mengeluarkan edisi terakhir. Jadi di tahun ini, komik Indonesia yang bisa dibaca adalah Komik Reon. Saya ikutin meski nggak solid tiap terbit langsung beli. Tapi digabung per berapa edisi yang keluar. Seperti kemarin Vol 29 sama 30. Meski saya pribadi agak kurang sreg dengan salah satu judulnya. Tapi Reon sungguh sangat menghibur. Komik Reon bisa dibeli di kanal online, toped resmi mereka.



Di satu sisi saya tidak menduga Kosmik akan berakhir di dua tahun perjalanannya. Tapi komik adalah medium tanpa batas. Siapa tahu nanti akan ada gebrakan yang lebih bagus.

Dan juga saya akan usahakan update di laman Goodreads saya. Siapa tahu ada yang belum tahu. Bisa follow review saya disini. Buku currently reading, progressnya, dll akan diupdate berkala. Review pertama juga saya buat disana. Jadi jangan kelewatan.

Selain itu di 2018, saya akan mengisi obrolan buku di podcast Suarane. Doakan semoga bisa berjalan dengan baik. Teman-teman bisa dengerin sambil makan siang, sambil commute, sambil bermacet-macet di jalan. Edisi perdana bisa didengarkan disini



Nanti disana akan ada kuis buku, siapa tahu kamu beruntung bisa memenangkan kuis tersebut. Kemudian direview dan dibagikan ke orang lain lagi.

Menutup postingan kali ini, ada excerpt laporan pandangan mata dari festival penulis Singapura 2017 yang saya alias Steven ikuti di bulan November kemarin.

Sampai ketemu di podcast dan postingan blog berikutnya,
Salam.





LPM Singapore Writer Festival 2017

Jauh hari sebelum ke SWF, saya ingat dapat info event ini dari Twitter. Sepintas saya baca tweet @indonesiawriters: Fahd Pahdepie, penulis "Hijrah Bang Tato" bakal ngisi acara disana. Pagelaran SWF sudah dibikin acara tahunan yang didukung pemerintah mereka. Line up SWF ke 20 ini seru banget. Dari tanggal 3-12 November sederet penulis terkenal hadir mengisi sesi. Dari Marie Lu, Ken Liu, sampai nama tenar Etgar Keret dan Junot Diaz di penghujung event. Dua nama terakhir ini yang membuat saya kepengen berat ke acara ini. Semua sesi mereka berdua saya ikut penuh. Puas banget bisa duduk dengerin. Yuk kita simak laporan pandangan mata dari SWF 2017.

Setelah sampai di Singapura sehari sebelumnya, 9 November kurang lebih jam 8 malam, saya bergerak menuju The Arts House, gedung parlemen lama, tempat SWF digelar. Tiket festival dan acara berbayar sudah saya pesan sebelumnya. Berbekal print bukti pembayaran saya meniatkan diri ikut sesi perdana di SWF.

Dengan jari kaki yang blister, sandalan, sekeluar dari exit B stasiun City Hall, ditemani Google Maps. Nggak seberapa jauh jalannya, ternyata. Tinggal belok ke kiri. Belok kiri lagi dan nyebrang ke arah National Galery. Dari sana ikutin jalan aja nyampai. Tujuan saya berada di ujung jalan tersebut.

Sebelumnya saya mampir ke booth tiket yang bersampingan sama tokobuku, menukar Festival Pass dengan dokumen pembelian Sistic. Nggak sampai 3 menit, tiket dan FP sudah diberikan. Akhirnya lega semua sudah di tangan. Waktu itu sesi "Coming Soon in Singapore Comics" digelar di lantai dua. Ternyata di Blue Room, sudah banyak yang hadir. Mungkin para komikus ya.

Langsung saja kududuk di barisan tengah dekat pintu masuk. Sempat grogi juga, gapapa nih, sandalan, di event kayak gini. Tapi dibolehin aja tuh sama mbak ushernya. Beberapa menit setelah duduk, tampak para pengisi acara sudah pada datang dan jam 8.30 sesi dimulai.


Sesi dimulai dengan santai. 3 komikus memulai dengan presentasi mereka. Perkenalan, bagaimana mereka ngomik, apa aja yang mereka kerjakan, dan style dan keunikan masing-masing. James Tan memulai pertama dengan presentasinya. Dia menceritakan soal keliling dunia bersama sang istri yang harus membuat porsi keuangannya menipis. Di kala komikus lain sibuk mengejar deadline serial komik, karya James seputar momen sehari-hari, seperti Om Pasikom dan mas Mice. Pembawaan James yang tenang dan kalem membuat semua hadirin tenggelam dalam presentasinya.

Di tengah, Eva yang dikenal luas dengan Evacomic, melanjutkan presentasi. Dengan style bergaya Jepang yang imut, Eva menghadirkan budaya barat dan lokal (singapura) dalam karyanya. Perbedaan budaya yang dia rasakan dijalin dalam panel-panel karyanya.