Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat by Agus Sopian
My rating: 5 of 5 stars
Tepat setengah satu siang setelah makan nasi kuning berlauk ikan, acar, perkedel, dan telur saya duduk menuliskan ulasan buku bagus yang baru selesai dibaca. Biar lebih maknyus. Nasi kuning tadi kutambah sesendok kecil sambal bawang Bu Rudy. Harumnya khas. Pedasnya jangan ditanya. Soal sambal botol yang belakangan selalu menemani menu ini kita bahas di lain waktu.
Judulnya: "Jurnalisme Sastrawi" Edisi Revisi. Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Sekadar tambah informasi. Dari buku inilah lahir antologi "Narasi", terbitan Pindai. Seperti judulnya buku ini menyimpan tulisan-tulisan yang memukau. Mulai dari pengisahan pecahnya demo yang berakhir tragis di Aceh, dualisme media waktu kerusuhan Ambon, asal mula majalah Tempo, hingga pengalaman terjun menemani tentara Rajawali di Aceh. Jurnalisme Sastrawi tergolong buku legendaris karena merupakan bunga rampai tulisan bergenre jurnalisme sastrawi milik majalah Pantau. Media pertama yang mengenalkan genre jurnalisme sastra di Indonesia.
Buku terbitan KPG ini saya beli karena melihat stories dari seorang pengamat media yang sedang kuliah luar negeri. Secepat kilat saya mencoba mencari di lapak daring. Rejeki anak soleh. Kebetulan juga sedang promo ongkos kirim. Tak berselang lama buku itu terbang ke Ambon. Pengalaman membaca buku ini akan saya ceritakan di tulisan ini. Semoga suka.
Diterbitkan Mei 2008, buku yang saya miliki sudah menguning lembaran kertasnya. Terselip pula selembar nota makan donat di Dunkin. Mata saya sampai pedih karena fontnya yang terbilang kecil. Tapi bagi saya itu tidak seberapa karena isinya sungguh berkelas.
Ada 8 cerita dari 8 jurnalis berbeda yang terangkum dalam edisi revisi. Pembacaan pertama, sore itu, dimulai dari "Koran, Bisnis, dan Perang" oleh Eriyanto setelah menelusuri bab pengantar. Saya penasaran dengan bisnis media waktu itu.
Di pengantar, Andreas Harsono, mencoba memberi latar belakang: apa yang membedakan narasi yang disebut jurnalisme gaya baru dengan bentuk laporan jurnalisme umum. Jurnalisme Sastra atau Literary Journalism bukan pekerjaan mudah. Penulisan hasil reportase yang tidak linier seperti hard news, lebih mendalam selayaknya depth reporting, dan tetap mengutamakan disiplin verifikasi fakta di lapangan. Itu kiranya yang membuat Pantau mencoba memberi penghargaan lebih tinggi bagi jurnalis yang mengirimkan laporannya. Sayang Pantau sudah keburu tutup. Namun para jurnalis tempaan Pantau masih bisa kita nikmati tulisannya di berbagai media.
Memang betul membaca narasi seperti di Pindai mengasyikkan betul. Jauh berbeda dari laporan di media biasa. Karya jurnalistik yang dimuat media pada umumnya terbatas. Tidak bisa panjang-panjang. Belum lagi terbentur deadline. Karena penyusunan laporan narasi sendiri dibutuhkan kerja panjang untuk meriset dan menjelajahi berbagai bukti. Bagi yang penasaran bisa lihat majalah "The New Yorker". Dari penuturan Andreas Harsono. Laporan berbentuk narasi yang bagus itu seperti "Hiroshima" John Hersey. Anda juga bisa baca "In Cold Blood." karya Truman Capote. Terbitan Bentang.
Mengutip Septiawan Santana dalam Jurnalisme Kontemporer Edisi 2, "Dalam perkembangannya, sastra menjadi bahan ucap dan ajar di dalam gaya jurnalisme. Penggeraknya, antara lain, ialah Tom Wolfe." Di Indonesia sendiri majalah Tempo pada awalnya juga menghimpun para seniman sebagai penghuni redaksi. Beritanya jadi enak nian dibaca. Meski saya belum pernah membaca Tempo tahun-tahun itu. Itu yang saya tangkap dari pembacaan ulasan-ulasan Tempo, yang diperkuat oleh tulisan Coen Pontoh di buku ini. Perkenalan dengan Tempo pun baru seumur jagung.
Kembali ke laporan mas Eriyanto. Di situ ia mencoba menelusuri bagaimana bisa sebuah kota yang sebelumnya memiliki satu koran harian umum, kemudian pecah hingga menjadi dua kekuatan media yang tumbuh seiring keadaan Ambon yang bergolak. Yang pasti ada nama Dahlan Iskan, dan kelompok Fajar yang berada di dalam pusaran tersebut.
Kemudian. Laporan narasi yang mengagumkan saya temukan di "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft". Betul-betul hidup tulisan Chik Rini. Merinding sekaligus mencekam rasanya membaca tulisan beliau.
Setelah itu ada jeda beberapa lama sebelum saya melanjutkan pembacaan "Jurnalisme Sastrawi". Bacanya dihemat-hemat. Ada buku lain yang dibaca juga. He-he-he.
Awal bulan Oktober. Saya melanjutkan membaca buku ini. Tulisan kedua saya tamatkan sore itu. "Taufik bin Abdul Halim" milik Agus Sopian.
Di tulisan ini Agus Sopian menelusuri salah satu aksi pengebom di Jakarta itu. Di sini saya mendapati informasi-informasi yang memiliki pertalian dengan kerusuhan di Ambon. Sedikit banyak memori saya kembali ke masa-masa kecil saya.
Dilanjutkan dengan "Hikayat Kebo" punya Linda Christanty. Ceritanya mengalir. Asyik diikuti.
Selanjutnya sejarah Tempo ditulis dengan seru oleh Coen Husain Pontoh. Pasang surut majalah Tempo bisa dibaca di "Konflik Nan Tak Kunjung Padam". Isi kulit Tempo yang saya idolakan seakan diperlihatkan di tulisan ini.
Tadi malam 5 Oktober 2017, bertepatan dengan HUT TNI, giliran narasi seru dari Alfian Hamzah yang kubaca. "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan". Betul-betul seru. Kendaraan lapis baja. Ransum tentara. Hingga pantat terserempet peluru. Sisi humanis tentara dan perjuangannya di lapangan diceritakan oleh jurnalis yang memperoleh ijin dua bulan menemani perjalanan tentara. Penuh haru melihat betapa tentara juga manusia. Kangen pacar. Anak istri. Setidaknya ini membuka mata saya tentang apa yang terjadi di Aceh. Di daerah konflik. Laporan tentang Aceh dengan nuansa yang berbeda, misalnya dari tulisan mbak Linda Christanty soal perang di Aceh. Baca Seekor Burung Kecil Biru di Naha (KPG). Rasanya kemarin akan kurang lengkap bila tidak membaca laporan mas Alfian.
"Ngak-ngik-ngok" Budi Setyono tentang keberadaan kelompok musik "Koes Plus" juga begitu informatif. Seru.
Saya baru tahu mereka sempat ditahan karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Bung Karno soal kebudayaan nasional. "Dari Thames ke Ciliwung" soal bisnis air di Jakarta oleh Andreas Harsono menutup pembacaan saya.
Menyambung tulisan Santana, Gay Talese mengatakan, meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Ketika membaca liputan-liputan ini betul saja. Seperti yang diungkapkan Tom Wolfe: sebuah bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.
View all my reviews
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Narasi yang memukau. Game of thrones versi Indonesia. Sejarah adalah pelajaran yang saya kecap sejak menjalani sekolah dasar, sekolah mene...
-
Novel horor karya Achmad Benbela menyajikan perjalanan menyusuri alam Kalimantan beserta misteri di dalamnya. Apik dan menyajikan keseru...
-
Refleksi kehidupan manager terbaik di ranah Inggris Judul Buku: Alex Ferguson, Autobiografi Saya Penulis: Sir Alex Ferguson. Al...
No comments:
Post a Comment