Monday, 17 July 2017

(Review) Quiet Leadership: Winning Hearts, Minds and Matches by Carlo Ancelotti

"Membongkar isi kepala Don Carletto"




Membaca buku ini membuat saya respek akan keberhasilan tim AC Milan sewaktu masa jaya di era milenium. Sebagai fans Inter (saya merasa begitu) waktu itu, saya cukup heran akan keberhasilan mereka. Sekarang apa yang menjadi ramuan keberhasilan tersebut dengan gamblang bisa kita temui di buku ini. AC Milan adalah keluarga bagi sang manager. Membangun tim dengan titian rasa, bukan sekadar mengambil jalan pintas meraih megabintang dari klub latin, misalnya.

Jika dibandingkan dengan Leading milik Sir Alex, Quiet Leadership terkesan monoton, banyak repetisi, dan kurang mengungkap bumbu-bumbu dalam dunia sepakbola. Saya berharap kelak Don Carlo akan membuat buku semacam itu.

Bapake hampir melatih Liverpool. Uhukk.. Realita di lapangan (baca: pemain mokong): santapan sehari-hari yang harus dihadapi pelatih. Berlusconi memang terlalu! itu semua membuat membaca buku ini terasa penuh kegembiraan dan sedikit kekecewaan. Karena itu tadi, bukunya terasa singkat.


Sebagai hasil akhir membaca buku ini. Saya bisa mengambil simpulan. Jatuh bangun sebuah klub bola. Bukan hanya dari identitas klub itu semata. Tapi sebagian besar oleh kiprah para pemain. Sisanya adalah kerja keras sang pelatih di dalamnya.


Sharing berkelas dari sang master ini merupakan bacaan yang taktis. Banyak hal yang bisa diambil sisi positifnya. Di tiap akhir bab, tersedia poin pembelajaran yang bisa diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Carlo Ancelotti saat ini memimpin tim asal Jerman, Bayern Munchen, sepeninggal Pep Guardiola. Mantan playmaker handal AC Milan ini berupaya mengangkat pamor Munchen ke tingkat tertinggi eropa.

Buku ini saya rekomendasikan untuk penggila klub AC Milan dan khususnya penikmat bacaan bertema olahraga.

Thursday, 13 July 2017

(Book Shop Travel) Penang.

Seperti yang saya ceritakan di artikel sebelumnya, salah satu bucket list saya ke Penang untuk melihat tokobuku. Melengkapi wishlist dan membawa pulang buku baru. Kedua niatan itu memantapkan saya untuk pergi ke Penang. Sekalian checkup kesehatan.

Inilah beberapa tempat yang saya kunjungi. Semoga bisa menjadi referensi tujuan ketika kamu jalan-jalan ke Penang.


Di Gurney Mall ada MPH.

Saya mampir ke MPH di hari pertama tiba di Penang. Setelah mengisi perut dengan mi pangsit. Kami keliling Gurney Mall.

Sebelahan dengan outlet Digi. Setelah kamu beli paket data disana. Kamu bisa melihat koleksi buku MPH. Bagi saya pribadi. koleksi bukunya lumayan, buku-buku rilisan terbaru bisa kamu dapatkan disini. Space toko buku ini terbilang besar di Penang.



20170707_151609
Saya membeli buku “Quiet Leadership” milik Carlo Ancelotti. Lumayan, terhapus satu judul dari wishlist saya.
Seksi Fiction & Literature ada dua tiga rak lebih, tapi buku sastranya terbilang dikit. Sehari sebelum pulang, saya menyempatkan mampir lagi. Cuman saya sudah tidak terlalu mood mengeksplor rak MPH.
20170707_151450

***
Di dekat Gurney Mall, bersebelahan dengan sebuah hotel, cukup jalan kaki beberapa ratus meter ke Gurney Paragon Mall. Nah di lantai 5 mall dengan arsitektur klasik ini ada tokobuku “Times“. Koleksinya terbilang lumayan, tapi spacenya kecil.

Di Times saya melihat dua buku menarik, antara Panama Papers dan The View from The Cheap Seats. Akhirnya saya memilih Panama Papers.

Yang menarik di Times adalah kamu akan melihat kutipan-kutipan menarik dari para pengarang dunia ditaruh di bagian atas toko.
***
Agak ke arah timur, tepatnya di Queensbay Mall, kamu bisa mampir ke Borders.

20170706_205036
Koleksinya lumayan, rilisan update kayak dua tokobuku sebelumnya. Cuman space Borders relatif kecil. Setelah asyik lihat-lihat buku, kamu bisa santai ngopi di Starbucks.

Di sini saya membeli The Rules of Life. Richard Templar. Wishlist sewaktu lihat buku ini dibaca sama Bong Chandra.

***

Terakhir, bertepatan di tanggal 7 Juli kemarin, hari libur Situs Warisan Dunia UNESCO, membuat kota Penang lebih sepi ketimbang biasanya.

Sembari jalan-jalan ingin mencari oleh-oleh, saya dan keluarga pergi ke Chowrasta Market. Dari sana sembari keliling melihat George Town yang kanan kiri penuh bangunan kolonial, sampai juga di Jl Masjid Kapitan Keling.

Letaknya di dekat plang informasi Situs Warisan Dunia UNESCO, dan berjarak beberapa lemparan batu dari bangku duduk dari aspal. Tersembunyi kedai buku mungil yang kerap disambangi pejalan, nama tokonya Gerak Budaya.

20170707_113329
Siang yang cukup terik itu, akhirnya menampakkan hasil, saya berhasil mampir ke tujuan utama saya di Penang. Ibarat memasuki dunia ajaib, denting bel yang terdengar, menandakan saya resmi menginjakkan kaki di Gerak Budaya.

Waktu itu tak ada siapapun disana. Seorang auntie duduk di kasirnya tampak menunggu pengunjung. Saat saya masuk, dia hanya meminta adik saya untuk menutup kembali pintu. Pintanya dengan nada yang ramah.

Koleksi bukunya boleh dibilang lengkap. Satu ruangan penuh harta karun. Saya diburu waktu seperti biasanya. Sehingga tidak sempat menelusuri satu demi satu buku di Gerak Budaya.

Keungggulan GB dibanding tokobuku lainnya adalah disini koleksi sastranya jempolan.
Selain itu koleksinya dijamin bagus, karena dikurasi oleh sang pemilik.

Tokobuku dengan moto “We are passionate about the books that matter” ini rasanya lebih asyik ketimbang tokobuku lain. Di sana rasanya agak segan menanyakan judul buku yang kita inginkan. Meski buku Juan Pablo Villalobos tidak saya temukan di Gerak Budaya, saya cukup senang bisa mampir sebentar.

Orang-orang Indonesia kerap mampir di sini kata Auntie. Kamu bisa melihat novel-novel milik Pramoedya, Eka Kurniawan, dan sederet novelis lokal di sisi paling kanan. Rak fiksi dan literatur yang berada di sisi kiri kedai.

Sembari membuka obrolan, dia menanyakan dari mana asalku. Ternyata Auntie mengira saya berasal dari Filipina. Secepat kilat, ku jawab dari Indonesia.

Setelah tahu dia langsung menunjuk salah satu bookmark bergambar Pramoedya. percakapan singkat berlanjut. Saya mencoba kepo kapan Gerak Budaya buka di Indonesia. Sayangnya rencana GB membuka toko di Jogja, belum ada kepastian.

Tampaknya belum ada solusi soal sewa tempat. Pihak penyedia tempat ingin sewa tempat jangka panjang sekaligus. Itu yang saya tangkap dari percakapan singkat siang itu.

Sebagai kenang-kenangan saya telah mampir, sebuah buku Jhumpa Lahiri “Interpreter of Maladies” saya ambil. Harganya nggak jauh beda dengan MPH, Borders, Times, pokoknya. Bonus bookmark gratis juga. Tanpa ragu saya memilih bookmark Jhumpa Lahiri dan Pamuk. Kan cuman beli satu. Kalau dua, tiga, kayaknya boleh ambil semua satu
 .
Sebelum mampir saya mencari info Gerak Budaya di sini.
Oiya, Gerak Budaya juga dinobatkan sebagai tokobuku terbaik di Penang. Jadi bila kamu berkesempatan main ke Penang, jangan kelewatan untuk berkunjung ke tempat ini.