Thursday, 25 February 2016

10 Buku Pilihan 2015 Haremi Book Corner

Dari Raditya Dika hingga Jurnalis Kompas.



Sudah tiba waktunya untuk menghadirkan 10 buku yang saya anggap menarik & terbaik sepanjang 2015. Sedikit cerita, di tahun ini saya begitu bersemangat untuk membeli buku dan terus memikirkan buku apa lagi yang harus dibaca. Untuk merayakannya, ijinkan saya untuk bercerita 10 buku tersebut untuk Anda.




1. Koala Komal.
Di pembuka tahun 2015, industri buku digemparkan dengan hype rilis buku terbaru Raditya Dika. Fenomena ini semakin viral saat dirinya turut “promosi” Koala Kumal di “Mata Najwa” bersama Ahok & Syahrini. Koala Kumal, sejujurnya isinya lucu sekaligus menghanyutkan. Review buku ini sendiri mendapat tanggapan positif dari Radit. Hasilnya membuahkan page view yang lumayan di h23bc.com.

 
Ada cerita lucu sehabis menulis review KK.

Setelah menamatkannya dalam beberapa hari. Saya dengan cepat menulis reviewnya. Dengan maksud mencoba mengirimkannya ke media cetak. Yang saya tuju pertama adalah Jawa Pos. Dan inilah kesalahannya. Meski hampir tiap minggu mengikuti Jawa Pos Minggu. Saya tidak teliti mengamati selera penjaga rubrik milik koran kesayangan warga Surabaya itu. Singkat cerita, saya kirim lagi ke Koran Jakarta. Setiap hari menampilkan ulasan buku, akan lebih besar kemungkinan untuk bisa dimuat.

Singkat cerita artikel saya berhasil dimuat Kojak. Namun dengan nama penulis yang berbeda. Seorang mahasiswa UNY, ingat saya. Jujur saja, ada sedikit kecewa waktu itu. Ada banyak orang yang mengirim resensi yang sama, balas redaktur Kojak saat saya minta penjelasan soal “ketidaknyamanan” tersebut.

FYI, review KK akhirnya saya alih bahasakan dengan bantuan mbak Selvi.

Ada yang berbaik hati ingin membantu saya menerjemahkan artikel Blog Buku Haremi ke bahasa Inggris? sila mention di @h23bc
2. Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi



Buku apik tulisan Linda Christanty ini menarik karena ditulis dengan pakem jurnalisme sastrawi. Sesuatu yang baru saya “minati” tahun ini. Dan di akhir tahun ini buku-buku jurnalistik menjadi sebuah pengalaman menarik. Saya membaca Menjejal Jakarta, Orde Media, Mengantar dari Luar punya Puthut EA, dan “A9ama” Saya adalah Jurnalisme milik Andreas Harsono.

3. Matinya Burung-burung: Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin



2015 menjadi bukti bacaan sastra mulai makin diminati pembaca. Salah satunya lewat kehadiran buku-buku kumpulan cerita pendek. Adalah sebuah kewajiban untuk menaruh hasil terjemahan Ronny Agustinus di daftar 10 buku pilihan 2015. Tidak perlu waktu yang banyak untuk menikmati kisah-kisah menarik di dalamnya. Saya berharap di tahun depan semakin banyak kumcer semacam ini akan diterbitkan oleh penerbit lokal.
Simak juga 5 Buku Fiksi Terbaik 2015 versi Haremi Book Corner disini.


Buku ini berhasil membuat saya terpukau oleh kehebatan seorang kolumnis. Lewat permainan kata dan pengamatan beliau yang luar biasa, kehidupan jaman doeloe berhasil merasuk pikiran saya. Kumpulan esai Myra Sidharta ini wajib hadir dalam reading list Anda.
Membaca Seribu Senyum dan Setetes Air Mata merupakan pembacaan yang mengibur sekaligus menyenangkan. Bukan saja karena esai yang informatif, berbobot, tulisannya punya sebuah ciri khas tertentu yang tidak mudah disamai esais lainnya. Buku yang akan memperkaya khasanah berpikir bangsa ini. Ketika membacanya kita seakan seorang cucu yang duduk dengan cookies dan cangkir teh di tangan, perlahan mendengar pengalaman dan cerita dari sang nenek.


Buku hasil curahan pikiran Stanley Harsha ini menarik. Saya penasaran dengan pemikiran beliau soal Indonesia. Setelah membaca buku ini kelak saya memburu buku-buku bertemakan Indonesia yang ditulis oleh orang luar. Misalnya, Indonesia ETC.

Di luar dugaan, saya juga mendapati sedikit keanehan. Literatur yang membahas Indonesia, banyak ditulis oleh orang asing. Maksud saya, sejak beberapa waktu lampau ketika ada yang ingin mengetahui analisis tentang keadaan Indonesia, sejarah Indonesia misalkan. Kita akan condong mencari referensi dari buku-buku yang dibuat orang asing. Mungkin saja karena sensor dan alasan-alasan lainnya yang (saya tidak tahu) membuat hal ini terjadi. Hal serupa saya jumpai di dunia penelitian sains kita. Selayaknya banyak penemuan spesies baru yang lebih banyak ditemukan dan diidentifikasi oleh peneliti luar. Kemudian dijadikan jurnal ilmiah yang diakses kaum akademis Indonesia. Figur peneliti seperti Cahyo Rahmadi tidak banyak kita dengar.

6. Sihir Rumah Ibu: Menyidik Sosial Politik dengan Kacamata Budaya



Kumpulan esai yang tidak kalah menarik milik Agus Dermawan. Budayawan sekaligus penulis pidato kawakan lewat kumpulan esainya berusaha menggugah pembaca lewat caranya menyajikan pengamatan, penilaian, dan kritik yang “lembut”.

Buku ini meskipun berbicara banyak hal seputar politik, lewat esainya yang ringan dan bersahaja penulis justru menitikberatkan “Sihir Rumah Ibu” pada sebuah gagasan (lebih tepatnya sebuah pesan) sederhana. Budaya yang mulai makin terpinggirkan di Indonesia. Bacaan yang menggelitik sekaligus mencerahkan kita.
Sihir Rumah Ibu akhirnya yang membuat saya mencoba membaca buku-buku sejenis yang ditulis oleh Radhar Panca Dahana dan Cak Nun.

Dikemas secara menarik oleh Pandji Pragiwaksono. Bacaan yang mengupas banyak hal soal pengalaman Pandji dalam berkarya. Penekanan yang ingin ditampilkan pada sisi kreatif seorang pekarya dalam memasarkan hasil karyanya. Semoga makin banyak insan kreatif lainnya yang berbagi pengalamannya lewat sebuah buku. 





Novel thriller apik garapan Ade Tsugaeda membuat genre ini menunjukkan harapan besar di industri buku Indonesia. Buku thriller & misteri lokal belum banyak mendominasi rak buku kita. Tahun ini beberapa penulis mencoba peruntungannya di pasar. Beberapa judul yang mengesankan ada Misteri Patung Garam dan Tiga Sandera Terakhir.

Disesaki dengan beragam genre yang laris di pasaran, karya kedua Tsugaeda memberi alternatif bacaan yang menyenangkan.

9. Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian


Pengalaman yang mengesankan”. Itulah yang keluar dari mulut saya sehabis membaca buku yang satu ini. Sebenarnya tulisan Salim Said ini sudah saya beli di Jogja 2013 kemarin, belum sempat saya baca dan sudah diberikan ke orang. Setelah membaca buku terbaru beliau, saya memutuskan untuk tidak melewatkan buku pertama yang mengupas kronik gestapu hingga aral reformasi.

Ditulis dengan mengalir, selayaknya seorang wartawan yang bercerita pengalaman pribadinya tentang kejadian-kejadian bersejarah di Indonesia. Ditambah pula dengan analisa beliau sebagai orang yang dekat dengan dunia militer. Buku ini setidaknya berhasil memberikan pemahaman apa yang terjadi di masa lalu. Sesuatu yang sengaja tidak dibuka lebar dan diajarkan di bangku sekolah.

10. 50 Tahun Kompas Memberi Makna.







Buku terbaik untuk tahun ini. 50 Tahun Kompas Memberi Makna saya baca dalam berbagai kesempatan. Lewat catatan Kompas ini setidaknya saya bisa catching up apa saja yang menjadi big story di dalam maupun luar negeri.

Satu hal yang membuat buku punggung keras yang dicetak dengan kertas lux ini istimewa adalah kehadirannya sebagai penjaga sejarah yang diemban dengan baik oleh Harian Kompas. Lewat cuplikan halaman depan terpilih selama kurun waktu 1965–2014, kita dapat mengamati “peristiwa besar” dan mendapat ulasan menarik dari tulisan para jurnalis Kompas.

Saya pribadi sedikit banyak mendapat pengalaman baru saat membaca rangkaian tulisan ini. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada media lain, langkah Kompas dalam menerbitkan semacam “ensiklopedia mini” layak diacungi jempol.