Saturday, 2 December 2017

Review: Talking to My Daughter About the Economy: A Brief History of Capitalism



"Ekonomi tak pernah semenarik dan sepenting itu sampai membaca Yanis Varoufakis."


Buku bersampul merah oranye ini tidak butuh dua kali pikir untuk masuk dalam daftar belanjaan saat mengunjungi Kino kemarin. Sebenarnya saya juga nggak tahu judul ini kalau nggak ngintip stories mas Wisnu di Inggris sono. Judulnya nggak menggugah amat. Talking to My Daughter About the Economy: A Brief History of Capitalism. Cuman nggak ada ekspektasi apa-apa saat itu. Satu hal yang saya yakini, buku ini lumayan bagus-pasti-isinya.

... Dan benar saja, sejak membaca babak pembuka, tidak butuh waktu lama untuk saya segera menamatkan buku ini. Karena storytelling yang memukau dan Yanis mampu memberikan informasi bermutu di saat yang sama. Benar-benar asyik. Serasa dapat kuliah 1 sks soal ekonomi gitu. Hahaha.

Buku ini cocok nih, kalau kamu pengen baca buku yang "ringan" tapi bahasannya menantang & mencerahkan seperti ekonomi (dalam buku ini). A-Z kapitalisme diceritakan dengan tuturan cerita yang asyik dan menggelitik.



Seseorang belum menguasai sepenuhnya bidang yang ia geluti (andai dia seorang profesor, atau akademisi, atau apa lah, seorang aktor film mungkin), jika ia belum dapat menjelaskan pemahamannya sesimpel mungkin kepada orang lain. Lalu orang lain pun bisa ngikutin.

Lewat buku ini kita akan sama-sama mengikuti perjalanan sang ayah yang sedang bercerita kepada anaknya tentang asal muasal kapitalisme. Iya betul, semacam Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda karya Gombrich. Just sit and chill out.***


Apple, Amazon, Facebook, dan Google, belum lagi yang lain. Kita mengenal dunia kapitalis yang berpusat pada seberapa banyak keuntungan yang dihasilkan untuk korporasi. Tapi bagaimana kita sampai menuju ke arah tersebut? Yanis-yang juga menteri Yunani, iya Yunani yang terpaksa harus menerima bail out, karena bangkrut beberapa tahun silam-menjabarkan soal mengapa ketidakadilan bisa lahir, dua macam nilai yang dikenal manusia, lahirnya market societies hingga usaha "menjinakkan" raungan kapitalisme.

Pertama-tama ada experiential value dan exchange value.

Di awal-awal sebelum era kapitalis tiba. Experiential value dirasa dimaknai kebanyakan orang dibanding exchange value. Ditolong orang saat tanganmu kejepit roda sepeda misalnya. Tanpa pamrih mendonorkan darah di PMI.

Keadaan sedikit demi sedikit berubah ketika segala sesuatu dijadikan komoditas, semua (barang, jasa) diberi label harga pasar, yang merefleksikan seberapa besar exchange value yang bisa diberikan.

Tapii, please, jangan minta gratis apalagi harga temen yang "bikin miris" juga pas make jasa teman atau kenalan. Ok, saya nggak mau terkesan menggurui.







Significant moment in the book:

"Oscar Wilde wrote that a cynical person is someone who knows the price of everything but the value of nothing. Our socities tend to make us all cynics. And no one is more cynical than the economist who sees exchange value as the only one value, trivializing experiential value as unnecessary in a society where everything is judged according to the criteria of the market."


Lewat cerita dan lebih banyak penjelasan yang seru, contohnya di "Haunted Machines" sang penulis mengajak pembaca (termasuk si Xenia, anaknya) melihat efek dari penggunaan teknologi di market societies bertendensi memperbudak orang-orang di dalamnya ketimbang membebaskan. Saat ini kita sudah nggak asing lagi. Denger dan lihat di sosmed. Tentang kemampuan robotik yang semakin hari semakin mirip manusia. Jangan-jangan kelak pekerjaan manusia akan dihapuskan, karena lebih mudah dikerjakan oleh robot. Nggak butuh istirahat dan nggak bakalan capek kerja. Minim tuntutan. Bisa kebayang kan: Industri masa depan yang gemilang.

Tapi di saat yang sama jangan lupa kisah Frankenstein, Blade Runner, yang juga baru saja rilis sekuelnya, jangan sampai teknologi ciptaan manusia jadi bumerang (istilahnya). Nah si penulis mengupas film The Matrix.

(Sesaat setelah menamatkan buku ini, saya kemudian menonton The Matrix (1999), dan luar biasa, film ini bagus banget, iya betul, itu film udah lama bangeet, tapi nggak apalah, lebih baik telat, daripada nggak, ya.)

Situasi dimana AI (komputer) yang menjadikan manusia sebagai budak. Untuk diambil energi hasil metabolismenya. Karena bila tidak diberikan ruang untuk hidup, berekspresi, manusia bakalan stres dan terlebih itu, pasti nggak mau kan dikerumuni kabel-kabel, hanya untuk diambil panas tubuhnya. Makanya si AI merancang sebuah sistem, dimana manusia tetap nyambi ngapain, kerja, dll, tapi realita tersebut hanya dimainkan di pikiran. Aslinya mereka ada di dalam semacam peti berisikan cairan yang menyuplai nutrisi, tanpa pernah tahu keadaan sebenarnya seperti apa.

Tapi tentu saja, sebagai seorang ahli ekonomi, penulis punya pendapat tentang situasi tersebut. Andai kata. Mesin dan lebih banyak mesin yang terpasang. Lalu nggak ada pekerjaan lagi buat masyarakat kebanyakan. Lalu produk tersebut akan dibeli siapa? Kan udah nggak ada income tuh ceritanya. Jadi penggunaan 100% mesin juga nggak ngaruh akan meningkatkan jumlah profit yang didapat kan.

Kira-kira itu situasi rumit yang mungkin jadi skenario, kalau human labour disingkirkan. Jawaban dan lebih banyak lagi hal-hal yang dielaborasi penulis bisa Anda temukan di dua bab terakhir. The Dangerous Fantasy of Apolitical Money dan Stupid Viruses?

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca. Bagi Anda yang gemar membaca buku nonfiksi yang bagus, penikmat ekonomi, atau seseorang yang penasaran bagaimana kapitalisme bekerja, dan ingin tahu cara bertahan-bahkan-menjadikannya lebih manusiawi, ini buku yang wajib Anda baca.