storytelling yang memikat.
Setelah beberapa tahun memenangkan penghargaan Kusala Sastra 2014, Iksaka Banu kembali hadir menyapa pembaca lewat karya terbarunya di Marjin Kiri. Berbentuk kumpulan cerita pendek. Semua cerpen yang ada memiliki benang merah yaitu kisah yang kelam. Noir. Tidak butuh lama, saya menandaskan "Ratu Sekop". Iksaka Banu at his best. Buku ini menjadi pamungkas dan favorit saya di bulan September. Bila saja Ratu Sekop masuk dalam penjurian Tokoh Sastra Tempo tahun 2018. Saya kira tak berlebihan karya ini adalah salah satu yang patut diperhatikan.
Jumat kemarin. Tanggal 29 September 2017. Saya mendapat buku ini dari salah satu penjual buku daring paling keren sejagad instagram. Terima kasih mas Jamal. Di tulisan ini saya akan membagi sedikit pembacaan Ratu Sekop. Semoga suka.
Pertama-tama. Obviously. Karya Marjin Kiri bagi saya selalu masuk kategori: wajib beli. Hitungannya apa yang diterbitkan oleh mas Ronny selalu berkelas. Salah satunya buku ini.
(c) instagram Marjin Kiri. |
Mari kita membahas dahulu mulai dari yang paling luar. Judulnya terbaca: Ratu Sekop dan cerita-cerita lainnya, dengan cetak tebal di kalimat pertama. Kemudian di depan latar warna krem, sesosok ratu sekop seperti yang ada di kartu remi nampak memegang dua benda di tangannya. Look at this cover. Pasti ini cerita yang nggak-nggak. In a good way. He-he-he. Pistol ala film sains fiksi di tangan sebelah atas. Kabel colokan pemanas nasi di tangan bawah. Dari pemandangan sampulnya saja, imajinasi kita seakan dipicu, sebelum sajian utama dihadirkan. Di bagian sampul belakang, tangan si ratu dengan anggun memegang belati dan clapper board. Hmm.
Ikasaka Banu membuka perhatian kita dengan dua cerita, "Film Noir" yang menghentak dan "Cermin". Setelah menghabiskan "Film Noir," saya kira cerita ini adalah salah satu master piece dari karya beliau. Begitu pula setamat Cermin. EPIK. Itu yang secepat kilat keluar dari benak saya. Duo cerita ini langsung membuat saya tidak butuh lama untuk segera menuntaskan isi Ratu Sekop dalam waktu singkat.
Kedua cerita ini saja sudah berhasil membuat saya semriwing.
Dilanjutkan dengan cerita "Superstar". Di sini, saya lantas menemukan mood cerita mas Banu. Oh, kesan noir itu yang seperti begini. Apa yang hendak ditampilkan dalam keseluruhan cerpen di buku ini.
Kemudian ada "Listrik". Twist yang bikin saya berpikir, "Ok.. Something just like this.. Keren endingnya.."
Lalu ada cerita "Belati", yang membuat saya beberapa kali harus membaca lagi bagian-bagian tertentu. Serasa membaca cerita detektif.
Hal lain yang ingin saya sampaikan di tulisan ini adalah membaca cerita pendek Iksaka Banu yang terkumpul dalam buku ini benar-benar greget. Ibaratnya kita sedang menonton sebuah film dalam imajinasi kita. Sangat puas dengan penggambaran dan detail-detail cerita yang disampaikan lewat sudut pandang orang ketiga. Serba tahu.
"Jubah" pun membacanya memberikan kesan yang cukup dalam. Sempat hening beberapa saat sebelum saya lanjut.
Kembali dengan "Ratu Sekop" yang memberikan twist yang juga menarik.
Hal yang sama juga dengan "Lelaki dari Negeri Halilintar".
Pembacaan saya yang pertama berhenti di cerita "Undangan Seratus Tahun". Endingnya juga nggak kalah menyayat hati. S e d i h.
Malamnya. Saya menonton bincang buku Iksaka Banu di Cak Tarno Institute. Sila cari di facebook beliau. Mas Banu bercerita soal mengapa ia kemudian harus menerbitkan buku ini. Kapan beliau menulis cerita-cerita yang "berbahaya" ini yang kemudian dimuat di Matra. Kehidupan beliau yang turut menyumbang sebagian besar daya kreatif miliknya.
Harfiyah Widiawati, Sang pembedah buku menuturkan apa saja yang tersirat di Ratu sekop dengan gamblang. Rasa-rasanya masih aman. Pikir saya waktu mendengarkan bincang buku tersebut. Sebelumnya saya melihat sedikit film-yang lagi ramai akhir-akhir ini-sebentar karena kepo. Lengkingan musik latar yang menyayat. Keesokan harinya, memang betul, dari musiknya saja sudah begitu meneror yang nonton. Benar saja. Penata musik diminta sutradara memasukkan unsur musik horor di film tersebut. Lengkapnya. Sila. Baca Jawa Pos Sabtu 30 September 2017.
Hari ini, Sabtu 30 September 2017, melanjutkan pembacaan kedua, "Vertigo" dan "Sniper", sudah agak terbaca pola ceritanya. Meski harus diakui "Sniper" tersebut saya kira termasuk dalam cerita yang paling saya sukai. Begitu intens. Begitu padat cerita yang dihadirkan.
Dari cerita-ceritanya, Iksaka Banu, bisa kita akui sebagai pencerita yang ulung. Dengan keterbatasan tempat, karena umumnya dimuat di majalah dan koran, sosok lulusan desain ITB ini mampu meletakkan bangunan cerita lewat detail mengagumkan dan lukisan cerita yang sarat simbol dalam setiap kisahnya. Membuat kita sebagai pembaca begitu disenangkan dan kenyang dengan apa yang disajikan.
Istana gotik. Sekali lagi hati ini seperti terparut karena cerita yang mengundang rasa haru itu.
Terakhir, "VIP", cerita berbalut sains fiksi ini memberikan nuansa tersendiri, dibanding yang lain. Mungkin karena cerita terakhir di buku setebal 189 halaman tersebut. Perjalanan si "aku" sudah tidak begitu mengejutkan karena sudah kudengar pembahasan ceritanya di acara Cak Tarno itu.
Lesson learned: sebaiknya membaca tuntas sebuah buku sebelum ikut dengar bincang buku. Apalagi kalau yang dibicarakan buku fiksi. Kilasan cerita yang dibeberkan bisa saja sudah mengandung unsur-unsur kejutan dari cerita itu. Tapi bila tidak memungkinkan untuk membaca buku tersebut. Mau bagaimana lagi. He-he-he.
Ratu sekop saya rekomendasikan kepada penggemar sastra Indonesia. Khususnya penikmat karya mas Iksaka Banu. Terlebih itu ini seperti hadiah buat semua pembaca di Indonesia. Salam buku itu seru.