Buku ini merupakan kekayaan yang berharga untuk dinikmati generasi modern. Kumpulan esai Myra Sidharta yang dikumpulkan dalam judul "Seribu Senyum dan Setetes Air Mata" sangat menarik dan layak untuk direnungkan kembali. Dewasa ini kita cenderung melihat segala sesuatu dengan cara yang instan. Tampaknya makin modern, begitu berbeda dinamika yang dirasakan orang Indonesia pada umumnya. Tante Moy dengan jeli melihat fenomena sosial budaya di masanya. Berkat luasnya relasi yang dibangun, beliau dapat menghasilkan esai-esai bermutu dan sedap dibaca. Niscaya setiap pembaca akan tersentak, terhibur, bahkan sampai ketagihan membaca. Sejatinya kebhinekaan di dalam Indonesialah yang menginspirasi penulis menghasilkan karya yang tak lekang oleh waktu. Penulis berhasil merekam jejak sejarah dalam bentuk yang paling dapat dinikmati semua kalangan. Lewat tulisannya kita seakan diajak menatap tilas kehidupan. Indonesia yang adalah permata hati. Betapapun kondisi yang terjadi, dia tetap melekat di sanubari.
50 esai terpilih terbagi menjadi empat bagian besar. Esai yang terangkum dalam Handai Tolan merupakan pembuka yang sangat menarik. Menjadi perkenalan pembaca dengan gaya menulis Tante Moy yang sederhana namun punya kedalaman yang memikat. Bagian pertama ini dibuka dengan cerita Ibu Hisnat Suryomiharjo. Dedikasi Ibu Suryo dalam pendidikan. Puncaknya ibunda Pia Alisyahbana menghadirkan pendidikan khusus untuk anak-anak cacat mental. Sebuah keteladanan yang menginspirasi kaum wanita turut serta membangun bangsa. Pengalaman emosional dan begitu mengharukan. Dengan mengikuti kisah perjalanan yang ditulis dengan apik dalam Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok. Kembali ke tanah leluhur bagi orang Tionghoa adalah sebuah tindakan untuk merawat tali asih dengan sanak saudara. Sekembali dari perantauan dan melihat keluarga adalah pengalaman tak ternilai. Begitupun dengan jejak langkah penulis menemui keluarga almarhum kakek. Penantian yang berkesan setelah mengetahui perjalanan panjang yang tidak mudah untuk sekedar bertahan hidup.
Soal passion dan sukses dalam berkarir sudah diulas Tante Moy di tahun 1991. Dalam Apa Salahnya Kerja Keras? Penulis menekankan untuk bekerja dengan sepenuh hati. Disini juga kita melihat resep untuk bahagia dan panjang umur. Selain itu esai beliau macam Nasihat Buat Kambing Tua, Lelucon Erotis, Don Juan, Casanova, dan Oedipus, dan Romantika Istri Konglomerat berhasil menggugah para pembaca. Sontak kita akan dibuat terkagum dengan keahlian penulis menilik topik-topik yang "berani".
Lewat profesinya sebagai psikolog dan sinologi, beliau memaparkan fenomena-fenomena sosial budaya yang menarik terjadi di Indonesia. Tulisannya saat ini masih sangat relevan untuk dibaca khalayak banyak. Hal ini dapat kita temui di paruh kedua Perantau Merantau. Nostalgia di kampung halaman saat mengirim surat dan mendapat berbagai hal yang dianggap tidak penting macam tawaran bank hingga investasi bodong ditemui dalam Pos Sampah. Bagi pembaca kisah roman jangan lewatkan ulasan lengkap penulis tentang literatur erotika dalam Merangsang Imajinasi Lewat Bacaan Erotis. Soal komik juga menjadi bahasan beliau dalam Komik Pertama di Indonesia. Tersebut Kho Wan Gie yang menggubah komik Put On secara luas diterima masyarakat. Hingar bingar kehidupan Jakarta tetaplah berpijak pada kelakuan kaum jetset yang sederhana. Seperti membawa guling dari rumah ketika bermalam di hotel berbintang pada Extravaganza di Jakarta.
Sisi Lain Perenungan merupakan buah pemikiran penulis yang menyoal banyak hal dalam kehidupan urban. Dari masalah kepedulian terhadap pembantu, budaya "sun" yang hadir di Indonesia, kemacetan berkendara di ibukota, dan kerepotan yang dialami saat habis lebaran. Di bagian ini kita merasakan kepiawaian penulis sebagai antropolog. Esai yang didominasi dari kolom penulis di The Jakarta Post memotret lika-liku kehidupan orang Jakarta dengan apik. Berbagai hal hingga kesusahan yang terjadi di kala krismon. Sebuah hal menarik dapat kita baca di Kita Harus Berakal dan Berani Memperbarui. Pemerintah menyoal sikap masyarakat Jakarta yang harus mengubah gaya hidup saat krisis moneter. "Orang kampung memang lebih mudah menyesuaikan diri terhadap masalah ekonomi mereka. Mereka memerlukan bantuan di banyak bidang, seperti kebersihan dan efisiensi, tetapi kita, orang kota, juga dapat belajar dari mereka." (hal 226.) Dari esai Ketika Tukang Pos Membohongi Kita, Tionghoa Indonesia Sekuntum Bunga Mawar dengan Nama Apa Pun, Mengganyang Kebudayannya, Mempelajari Fengshui-Nya kita dapat melihat sikap kritis penulis. Dengan jernih penulis mampu mengungkapkan sikap dan pandangannya. Sesuatu yang disikapi dengan santun inilah yang membuat tulisan Tante Moy berbobot dan layak dibaca.
Sebagai peneliti sejarah peranakan Tionghoa, ulasan tentang kuliner sangat menggoda. Mulai dari Renungan Mengenai Masakan Tionghoa hingga Penyerbuan Tahu yang Tersembunyi. Dimulai dengan mengutip Confucius "Jalan menuju hati dan cinta teman-teman dimulai dari masakan kita sendiri" penulis mengisahkan jejak langkah masakan Tionghoa di nusantara. Bukan sekedar masak biasa. Untuk menghasilkan sebuah masakan bercita rasa tinggi ada seninya. Selain seni memasak yang khusus, rahasia lain adalah penggunaan bahan segar untuk rempah dan isi masakan. Selain itu penulis mengungkapkan ada pula seni menikmati makanan. Orang Tionghoa punya cara khusus untuk menikmati hidangan saat makan. Sebelum makan tidak seperti orang Prancis dengan "bon appetit" atau "enjoy your meal" orang Inggris, orang Tionghoa akan bilang "Man man che", tidak lain artinya "makan perlahan-lahan."
Membaca Seribu Senyum dan Setetes Air Mata merupakan pembacaan yang mengibur sekaligus menyenangkan. Bukan saja karena esai yang informatif, berbobot, tulisannya punya sebuah ciri khas tertentu yang tidak mudah disamai esais lainnya. Buku yang akan memperkaya khasanah berpikir bangsa ini. Ketika membacanya kita akan mendapati selayaknya seorang cucu mendengar pengalaman dan cerita dari sang nenek.
Seribu Senyum dan Setetes Air Mata ditulis oleh Myra Sidharta. Terbit 2015 oleh Penerbit Buku Kompas.
Sisi Lain Perenungan merupakan buah pemikiran penulis yang menyoal banyak hal dalam kehidupan urban. Dari masalah kepedulian terhadap pembantu, budaya "sun" yang hadir di Indonesia, kemacetan berkendara di ibukota, dan kerepotan yang dialami saat habis lebaran. Di bagian ini kita merasakan kepiawaian penulis sebagai antropolog. Esai yang didominasi dari kolom penulis di The Jakarta Post memotret lika-liku kehidupan orang Jakarta dengan apik. Berbagai hal hingga kesusahan yang terjadi di kala krismon. Sebuah hal menarik dapat kita baca di Kita Harus Berakal dan Berani Memperbarui. Pemerintah menyoal sikap masyarakat Jakarta yang harus mengubah gaya hidup saat krisis moneter. "Orang kampung memang lebih mudah menyesuaikan diri terhadap masalah ekonomi mereka. Mereka memerlukan bantuan di banyak bidang, seperti kebersihan dan efisiensi, tetapi kita, orang kota, juga dapat belajar dari mereka." (hal 226.) Dari esai Ketika Tukang Pos Membohongi Kita, Tionghoa Indonesia Sekuntum Bunga Mawar dengan Nama Apa Pun, Mengganyang Kebudayannya, Mempelajari Fengshui-Nya kita dapat melihat sikap kritis penulis. Dengan jernih penulis mampu mengungkapkan sikap dan pandangannya. Sesuatu yang disikapi dengan santun inilah yang membuat tulisan Tante Moy berbobot dan layak dibaca.
Sebagai peneliti sejarah peranakan Tionghoa, ulasan tentang kuliner sangat menggoda. Mulai dari Renungan Mengenai Masakan Tionghoa hingga Penyerbuan Tahu yang Tersembunyi. Dimulai dengan mengutip Confucius "Jalan menuju hati dan cinta teman-teman dimulai dari masakan kita sendiri" penulis mengisahkan jejak langkah masakan Tionghoa di nusantara. Bukan sekedar masak biasa. Untuk menghasilkan sebuah masakan bercita rasa tinggi ada seninya. Selain seni memasak yang khusus, rahasia lain adalah penggunaan bahan segar untuk rempah dan isi masakan. Selain itu penulis mengungkapkan ada pula seni menikmati makanan. Orang Tionghoa punya cara khusus untuk menikmati hidangan saat makan. Sebelum makan tidak seperti orang Prancis dengan "bon appetit" atau "enjoy your meal" orang Inggris, orang Tionghoa akan bilang "Man man che", tidak lain artinya "makan perlahan-lahan."
Membaca Seribu Senyum dan Setetes Air Mata merupakan pembacaan yang mengibur sekaligus menyenangkan. Bukan saja karena esai yang informatif, berbobot, tulisannya punya sebuah ciri khas tertentu yang tidak mudah disamai esais lainnya. Buku yang akan memperkaya khasanah berpikir bangsa ini. Ketika membacanya kita akan mendapati selayaknya seorang cucu mendengar pengalaman dan cerita dari sang nenek.
Seribu Senyum dan Setetes Air Mata ditulis oleh Myra Sidharta. Terbit 2015 oleh Penerbit Buku Kompas.
Jadi tertarik pengen baca
ReplyDeleteBlog walking :)
ReplyDeleteSepertinya menarik. Belinya di mana ini?
Hi mbak Nannia.
DeleteBuku ini udah beredar di toko-toko buku.
Bisa dibeli di Gramed :)