Sunday, 17 May 2015

Sedikit Cerita di Hari Buku Nasional 2015


"Sudah bukan rahasia umum, nantinya lewat publisitas dan terjemahan ke bahasa asing karya kita akan semakin lebih dikenal. Satu pertanyaan yang mengemuka, sudahkah pembaca lokal membacanya?"

Sejujurnya aku baru saja tenggelam di dalam dunia susastra Indonesia. Beberapa tahun silam aku sempat dibuai dengan tetralogi Laskar Pelangi yang begitu fenomenal. Segera setelah masa itu selesai, aku tidak menyentuh lagi karya penulis Indonesia. Seperti yang  kuceritakan disini. Aku lebih menyukai bacaan non fiksi. Hal tersebut mulai berubah ketika mengikuti reviewer buku handal bergabung di Blogger Buku Indonesia. Menyambut Hari Buku Nasional, ijinkan kuceritakan sedikit pengalaman membaca karya asli Indonesia dan khususnya sastra Indonesia.




Koleksi buku asli Indonesia.
Pertama-tama aku harus berterima kasih untuk teman-teman yang mengenalkanku kepada karya sastra Indonesia. Baik lewat rekomendasi dan "bujukan" kalian semua, akhirnya sedikit demi sedikit kulahap buku-buku tersebut. Ternyata bukan saja menghibur, tapi ada sebuah kesukaan tersendiri dapat mengenal sejarah dan banyak hal lain yang sulit diungkapkan disini. Ngomong-ngomong mungkin saja kamu kebingungan dan bertanya untuk memulai dari mana membaca buku lokal. Untuk memperingkas waktu. Untunglah ada sebuah daftar buku yang bisa kamu jadikan rekomendasi untuk mengenal karya lokal. Books for All Season: A Self-Serving Guide to Indonesian Fiction oleh Gita Putri Damayana akan mempermudah kamu buat memilih bacaan yang menarik buatmu. Pilih saja salah satu yang temanya paling menarik. Bukankah tak kenal, maka tak sayang. Semoga dari satu buku yang dibaca bisa akan sedikit membuka pandanganmu tentang karya lokal.
***

Sepertinya kamu tidak sabaran dan menuntut rekomendasi dariku. Kebetulan akhir-akhir ini ada dua buku baru lokal yang kubaca. Dan sepertinya sayang untuk tidak membaginya disini. Ada kumpulan cerita milik penulis senior Leila S. Chudori yang berjudul "Nadira". Dikenal sebagai jurnalis Majalah Tempo, kukira hal itulah yang membuat karyanya begitu berbeda dengan pengarang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keluwesan bercerita, penceriteraan yang memikat berkat kedalaman psikologis yang digali, narasi yang berbobot, deskripsi yang berisi dan memanjakan pembaca. Ibaratnya kita seakan sedang duduk menonton drama di serial TV berkualitas saat duduk membaca Nadira. Ketika kita memulai masuk di cerita pertamanya, akan terbayang ini bukanlah sebuah cerita biasa. Cerita pembuka yang menghentak dan hingga beberapa cerita berikutnya, Nadira akan membius kita. Buku kedua yang kuceritakan disini novel terbaru gubahan penyair kawakan Sapardi Djoko Damono. Baru saja menghabiskan bagian pertama, kita akan sekali lagi "terbius" dengan untaian kalimat puitis miliknya yang mengisi narasi Trilogi Soekram. Keduanya sama-sama merekam masa Orde Baru. Dan kurasa inilah yang membuat keduanya menarik untuk masuk dalam daftar bacaan kita.




Di Hari Buku Nasional jika ada beberapa hal yang ingin kubagikan disini, yang pertama pastinya adalah mari perbanyak membaca karya penulis Indonesia. Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di ajang Frankfurt Book Fair 2015. Dengan mengangkat tema 17.000 Islands of Imagination karya-karya dan pentas budaya yang dinilai mampu merepresentasikan Indonesia akan menjadi daya tarik utama pembaca maupun penerbit yang hadir. Sudah bukan rahasia umum, nantinya lewat publisitas dan terjemahan ke bahasa asing karya kita akan semakin lebih dikenal. Satu pertanyaan yang mengemuka, sudahkah pembaca lokal membacanya? Jangan sampai karya para penulis kita, baik yang diperkenalkan di FBF maupun yang akan diterjemahkan ke bahasa lain akan lebih familiar di kalangan pembaca luar. Jangan sampai kita keduluan pembaca luar perkara menikmati karya-karya penulis Indonesia. Aku sendiri mulai mengenal karya sastra kita dengan membaca kumpulan cerita pilihan Kompas 2012 yang berjudul "Laki-Laki Pemanggul Goni", kemudian mencoba membaca novel "Pulang" milik Leila S. Chudori, Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo. Keseruan yang kudapati saat membaca sastra Indonesia berlanjut di tahun kemarin dengan melahap beberapa karya penulis kawakan macam Eka Kurniawan, Ayu Utami, dan Budi Darma. Aku juga mencoba mengenal daerahku lewat novel Mira dari Banda (reviewnya ada di ebook Catatan #1 H23BC). Pokoknya masih banyak buku milik penulis Indonesia yang bisa dibaca. Dan saya akan mencoba meluangkan waktu menghabiskan buku Okky Madasari, Laksmi pamuntjak (suatu saat nanti aku akan mencoba membaca Amba), dan penulis baru lainnya. (Saat ini aku sedang membaca kumcer kedua karya penulis Kampus Fiksi)


Di Hari Buku ini aku ingin mengajak kita semua untuk membeli buku asli. Betul. Dewasa ini harga buku melonjak naik mengikuti teman-temannya. Namun ingatlah kawan-kawan, buku yang dijual juga untuk mengisi perut banyak orang yang bekerja di industri penerbitan. Ketika kita memilih untuk menikmati bacaan lewat hasil bajakan, selain menghilangkan kesempatan penulisnya untuk mendapat sedikit lebih banyak pemasukan, orang-orang yang bekerja di penerbitan akan kesulitan. Mari hargai karya penulis kita dengan setidaknya membaca buku asli. Kesulitan untuk mendapatkan bukunya dapat diakali, kita bisa meminjam di perpustakaan. Alternatif lainnya adalah meminjamnya di tempat persewaan. Biasanya karya-karya best seller dapat kamu bawa pulang dengan beberapa ribu rupiah. Di masa sosmed sekarang banyak pula kuis dari penerbit yang bisa kamu ikuti. Berbekal keuletan mencari kuis, kamu bisa dapat kiriman buku gratis dari penerbit. Selain itu ada pula blogger buku yang berbaik hati kerap berbagi buku baik dari sponsor maupun dari kocek pribadi.


Sebelum menutup perjumpaan kali ini. Tidak bohong, aku juga punya sedikit unek-unek. Harapanku ada program pemerintah untuk membuka taman bacaan di berbagai pelosok, dan semoga program semacam ini tidak hanya gembar-gembor tanpa hasil dan ajang mencari publisitas semata. Semoga ada banyak orang yang tergerak untuk mengakrabkan masyarakat dengan kegiatan membaca. Terakhir saranku untuk para penerbit, hendaknya jangan mematok harga buku yang terlalu tinggi sehingga tetap dapat dijangkau oleh pembaca. Buat promosi yang gencar, sehingga kami (para pembaca) tahu ada buku yang ditulis oleh A, B, dan C. Maksudku setidaknya ada pemasaran online seiring dengan toko offline. Toko buku baik yang berjejaring dan bukan tidak semuanya memiliki koleksi yang up to date di semua daerah. Ada baiknya penerbit memajang deretan bukunya di halaman web, akan sangat disayangkan buku tersebut tidak akan sampai kepada pembacanya gara-gara masalah sepele. Tidak dapat dibeli masyarakat karena tidak dijual di toko buku berjejaring itu.


Tentu saja masih ada seabrek yang bisa kita jejalkan misalnya masalah timpangnya buku di daerah dsb. Mungkin akan kita bahas di perjumpaan berikutnya. Jika kamu ingin lebih mendalami kegiatan membaca, ada artikel yang informatif. Penulis Eka Kurniawan berbagi banyak hal di “Aku Lebih Ingin Membesarkan Diriku sebagai Pembaca daripada Penulis”

1 comment:

  1. Aku belum banyak membaca karya sastra penulis lokal macam Eka Kurniawa, Ayu Utami, Remi Sylado, dll. Semoga segera kebaca deh.

    Setuju soal taman bacaan di berbagai pelosok. Wajib banget itu. Pemerintah mana pemerintah. :p

    Selamat hari buku nasional, Steven. :)

    ReplyDelete