Penulis cerpen dan ulasan buku, Teguh Afandi berbicara tentang peran peresensi buku. Tips untuk dimuat di media dan karir menulisnya.
Hai mas Teguh. Senang sekali bisa berjumpa lewat wawancara ini. Saya selalu senang mendapati review Anda di Jawapos Minggu. Sedang sibuk apa sekarang?
Heeheee, sibuknya sekarang nulis dan nulis.
Selain karya sastra, apa saja ragam bacaan Anda sehari-hari?
Saya termasuk pembaca buku apa saja. Tidak memandang genre. Saya pembaca novel, cerpen, dan puisi (meski pada yang terakhir ini saya angkat tangan untuk memahami, saat baca puisi saya hanya menikmatinya sebagai rekreasi diksi). Selain itu saya pembaca biografi, esai, dan aneka macam jenis tulisan. Asal menurutku bagus, buku wajib dibaca. Dan sejam dua jam kita membaca buku, tidak akan ada ruginya. Namun buku yang wajib dan kudu dibaca adalah kitab suci (alquran, karena saya muslim). Membaca selarik dua larik alquran, pahalanya lebih besar daripada membaca selembar buku yang lain.
Apa yang mendorong Anda untuk terjun menjadi seorang peresensi buku?
Tahun 2014, ketika resensi pertama saya tulis adalah karena ada buku yang menurutku tidak bagus-bagus amat. Namun begitu booming dan ramai dibicarakan. Maka saya coba tulis ulasan dan menyebutkan beberapa titik lemah dari buku tersebut. Kemudian makin ke sini, saya merasa ngereview adalah salah satu cara untuk belajar menulis juga. Serta membagikan apa yang kita dapatkan dari sebuah buku. Kan setiap pembaca punya cara pandang sendiri-sendiri saat usai membaca buku. Mungkin apa yang saya dapat selama pembacaan dapat menginspirasi atau menggerakkan orang untuk membaca buku tersebut, atau membaca ulang bagi yang sudah membacanya.
Menurut Anda, peran penulis resensi di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat?
Selama ini ada penerbit atau penulis yang memberi respon baik ketika bukunya diulas. Namun sepertinya resensi hanya sebagai pemenuh kolom koran. Berbeda sekali dengan luar negeri, bahkan resensi menentukan laku atau tidak lakunya buku di toko. Benar-benar peran pengulas buku menjadi penting. Tapi untuk menuju ke sana pengulas juga harus meningkatkan kemampuan, biar tidak kosong dalam mengulas.
Tulisan resensi Anda telah dimuat Jawa Pos Minggu. Bagaimana langkah-langkah dalam mereview sebuah buku?
Tentu langkah pertama adalah membaca bukunya. Saya terbiasa menuliskan layer lain dalam buku. Bukan ringkasan. Misal hal baru apa yang disampaikan penulis kepada pembaca. Sehingga bila buku ini dibaca, akan ada kebaruan yang didapat. Entah dari tekniknya atau mungkin gagasan di luar teks. Tapi saya suka menghubungkannya dengan ssuatu di luar teksnya. Mungkin filsafat, politik, atau bahkan ekonomi.
Dan satu lagi tips, Jawa Pos sangat picky dalam memuat buku yang akan dimuat di kolom resensi. Bila diamati kita akan tahu pola-pola buku mana saja yang sekiranya akan dimuat Jawa Pos bila kita resensi.
Heeheee, sibuknya sekarang nulis dan nulis.
Selain karya sastra, apa saja ragam bacaan Anda sehari-hari?
Saya termasuk pembaca buku apa saja. Tidak memandang genre. Saya pembaca novel, cerpen, dan puisi (meski pada yang terakhir ini saya angkat tangan untuk memahami, saat baca puisi saya hanya menikmatinya sebagai rekreasi diksi). Selain itu saya pembaca biografi, esai, dan aneka macam jenis tulisan. Asal menurutku bagus, buku wajib dibaca. Dan sejam dua jam kita membaca buku, tidak akan ada ruginya. Namun buku yang wajib dan kudu dibaca adalah kitab suci (alquran, karena saya muslim). Membaca selarik dua larik alquran, pahalanya lebih besar daripada membaca selembar buku yang lain.
Apa yang mendorong Anda untuk terjun menjadi seorang peresensi buku?
Tahun 2014, ketika resensi pertama saya tulis adalah karena ada buku yang menurutku tidak bagus-bagus amat. Namun begitu booming dan ramai dibicarakan. Maka saya coba tulis ulasan dan menyebutkan beberapa titik lemah dari buku tersebut. Kemudian makin ke sini, saya merasa ngereview adalah salah satu cara untuk belajar menulis juga. Serta membagikan apa yang kita dapatkan dari sebuah buku. Kan setiap pembaca punya cara pandang sendiri-sendiri saat usai membaca buku. Mungkin apa yang saya dapat selama pembacaan dapat menginspirasi atau menggerakkan orang untuk membaca buku tersebut, atau membaca ulang bagi yang sudah membacanya.
Menurut Anda, peran penulis resensi di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat?
Selama ini ada penerbit atau penulis yang memberi respon baik ketika bukunya diulas. Namun sepertinya resensi hanya sebagai pemenuh kolom koran. Berbeda sekali dengan luar negeri, bahkan resensi menentukan laku atau tidak lakunya buku di toko. Benar-benar peran pengulas buku menjadi penting. Tapi untuk menuju ke sana pengulas juga harus meningkatkan kemampuan, biar tidak kosong dalam mengulas.
Tulisan resensi Anda telah dimuat Jawa Pos Minggu. Bagaimana langkah-langkah dalam mereview sebuah buku?
Tentu langkah pertama adalah membaca bukunya. Saya terbiasa menuliskan layer lain dalam buku. Bukan ringkasan. Misal hal baru apa yang disampaikan penulis kepada pembaca. Sehingga bila buku ini dibaca, akan ada kebaruan yang didapat. Entah dari tekniknya atau mungkin gagasan di luar teks. Tapi saya suka menghubungkannya dengan ssuatu di luar teksnya. Mungkin filsafat, politik, atau bahkan ekonomi.
Dan satu lagi tips, Jawa Pos sangat picky dalam memuat buku yang akan dimuat di kolom resensi. Bila diamati kita akan tahu pola-pola buku mana saja yang sekiranya akan dimuat Jawa Pos bila kita resensi.
Menurut Anda, apa yang penting untuk ditampilkan dalam sebuah ulasan buku?
Jangan menulis ringkasan dalam resensi. Jelas ini merugikan penulis dan penerbit. Karena pembaca tidak perlu membeli lagi usai membaca resensi kita. Yang harus disampaikan kepada pembaca resensi adalah cara pandang lain dalam menikmati buku. Misalnya resensi ISINGA, mungkin kebanyakan orang hanya akan menikmati alur dan sedu sedan tokoh dalam novel tersebut. Tapi ketika meresensi, saya kaitkan dengan feminisme bahkan kondisi sosial politik di Papua sesuai setting.
Sebagi penulis muda, Anda dituntut selalu menghasilkan karya yang baru sekaligus bagus....
Benar. Seharusnya demikian. Tapi sekarang saya juga masih terus belajar.
Ada yang berubah dalam hidup Anda, setelah menjadi penulis?
Tidak ada yang berubah. Saya masih tetap seperti yang dulu. Mungkin sekarang banyak yang memberi respon, bilang suka, bagus, dsb. Atau bahkan mulai mengkritiki lebih tajam. Membaca dan menulis membuat dunia terbuka sedikit lebih lebar.
Siapa penulis yang menginspirasi Anda?
Saya sangat mengagumi SGA (Seno Gumira Ajidarma, red), Hamsad Rangkuti, dan Kuntowijoyo. Pokokmen ketiganya adalah favorit saya.
Setelah menang Juara 1 Sayembara Cerpen Femina 2014, sering mengisi rubrik cerpen dan buku di koran. Apa target Anda berikutnya?
Kapan ya, ada yang mau nerbitin kumpulan cerpen saya? (dibantu doa ya, semoga dewan editor lekas memberikan kabar baik). Saya masih terus ingin belajar dan menulis. Mungkin sekarang saat tenaga dan semangat masih berjubel di tubuh, kita bisa membaca dan menulis setiap hari. Tapi pertanyaannya bila sudah renta, banyak kegiatan, apakah kebiasaan bagus ini masih bisa dipertahankan? Itu pertanyaan utama. Makanya selagi masih muda, saya rakus dalam membaca dan membeli buku, saya juga mencoba dan mencoba.
Jangan menulis ringkasan dalam resensi. Jelas ini merugikan penulis dan penerbit. Karena pembaca tidak perlu membeli lagi usai membaca resensi kita. Yang harus disampaikan kepada pembaca resensi adalah cara pandang lain dalam menikmati buku. Misalnya resensi ISINGA, mungkin kebanyakan orang hanya akan menikmati alur dan sedu sedan tokoh dalam novel tersebut. Tapi ketika meresensi, saya kaitkan dengan feminisme bahkan kondisi sosial politik di Papua sesuai setting.
Sebagi penulis muda, Anda dituntut selalu menghasilkan karya yang baru sekaligus bagus....
Benar. Seharusnya demikian. Tapi sekarang saya juga masih terus belajar.
Ada yang berubah dalam hidup Anda, setelah menjadi penulis?
Tidak ada yang berubah. Saya masih tetap seperti yang dulu. Mungkin sekarang banyak yang memberi respon, bilang suka, bagus, dsb. Atau bahkan mulai mengkritiki lebih tajam. Membaca dan menulis membuat dunia terbuka sedikit lebih lebar.
Siapa penulis yang menginspirasi Anda?
Saya sangat mengagumi SGA (Seno Gumira Ajidarma, red), Hamsad Rangkuti, dan Kuntowijoyo. Pokokmen ketiganya adalah favorit saya.
Setelah menang Juara 1 Sayembara Cerpen Femina 2014, sering mengisi rubrik cerpen dan buku di koran. Apa target Anda berikutnya?
Kapan ya, ada yang mau nerbitin kumpulan cerpen saya? (dibantu doa ya, semoga dewan editor lekas memberikan kabar baik). Saya masih terus ingin belajar dan menulis. Mungkin sekarang saat tenaga dan semangat masih berjubel di tubuh, kita bisa membaca dan menulis setiap hari. Tapi pertanyaannya bila sudah renta, banyak kegiatan, apakah kebiasaan bagus ini masih bisa dipertahankan? Itu pertanyaan utama. Makanya selagi masih muda, saya rakus dalam membaca dan membeli buku, saya juga mencoba dan mencoba.
semoga sukses terus :)
ReplyDelete