Friday, 25 December 2015

Catatan di Tahun 2014.


2014 itu tahun yang mengesankan! Pertama kalinya saya ikut tantangan membaca 100 buku di Goodreads Reading Challenge. Total bacaan yang berhasil dibaca sebanyak 90 judul #fyuuh. Tahun yang cukup luar biasa karena bisa membaca begitu banyak buku sembari menulis skripsi dan setelah lulus masih bisa tetap membaca dengan rutin. Apa saja yang saya alami di tahun kemarin? 



Di awal tahun 2014 saya masih bisa membaca beberapa buku baru karena berada di Jogja yang ramai dengan toko buku. Setelah berpindah ke Ambon, disini saya menemukan Perpustakaan Bank Indonesia dan Perpustakaan Nasional sebagai tempat menyalurkan hobi membaca. Sayangnya selama tahun ini saya tidak lagi berkunjung ke Perpus BI. Perpus yang baru diresmikan dengan seremonial besar ini, sebelumnya seperti tidak mendapat publikasi yang baik. Tahun lalu seringkali saya mendapati perpus masih tutup dan membuat hasrat saya untuk meminjam buku disana menurun. Pegawai yang sedianya bekerja sebagai staf BI harus merangkap sebagai pustakawan membuat pengunjung tidak leluasa mengakses perpus ini. Semoga tahun ini sudah ada pustakawan yang siap sedia melayani pengunjung yang datang.
Satu hal yang menurut saya agak memprihatinkan adalah kedua perpus diatas tidak melayani peminjaman buku untuk kalangan umum. Akses peminjaman terbatas hanya kepada mahasiswa & anggota instansi pemerintahan dan swasta yang menjalin kerja sama. Tidak lain karena kerapkali pengguna perpus tidak taat pada aturan peminjaman yang berlaku.

Kondisi kedua perpus diatas secara umum sudah cukup memadai. Perpus BI yang berusia kurang lebih 5 tahun memiliki koleksi buku non fiksi yang lumayan lengkap. Buku barunya juga lebih banyak ketimbang Perpus Nasional karena disokong oleh pendanaan yang baik dari pihak BI. Namun Perpustakaan Nasional yang ada di Jl. Ay Patty tidak kalah menarik. Menurut saya kelebihan dari Perpus Nasional adalah tempat “harta karun” sastra Indonesia di samping beragam jenis buku lainnya. Dengan mengunjungi PN secara rutin tiap minggunya di pagi hari. Menaiki tangga dan secepat kilat memelototi buku incaran. Saya hanya bisa membawa pulang 3 buku. Bandingkan dengan perpustakaan UGM yang membolehkan mahasiswanya meminjam 10 buku sekali pinjam. Bermodal kartu anggota yang berhasil diurus dengan bantuan seorang bapak yang baik hati Pak Gerson,  saya bisa membaca banyak buku sastra Indonesia seperti kumpulan cerpen Kompas mulai dari edisi-edisi awal (yay!), Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, Robohnya Surau Kami karya A.A.Navis, Saman karya Ayu Utami. Semenjak sering bertandang ke PN saya mulai mengagumi karya sastra Indonesia.

Tidak seru kalau belum cerita soal BBI. Satu hal yang berubah sejak membuat blog buku dan ikut Blogger Buku Indonesia (BBI) adalah mencoba membaca buku di luar kebiasaan saya. Yang saya sadari adalah saya mulai menikmati (membaca) karya fiksi dan setelah berjalannya waktu diri saya terobsesi untuk bisa menulis sebuah buku entah cerita fiksi atau non fiksi. 

***

Disini tidak seperti di pulau Jawa, buku-buku terbaru dengan cepat (persis di jadwal) telah tersedia di toko. Memerlukan waktu hingga beberapa minggu disebabkan pengiriman kapal ke luar pulau hingga buku baru bisa sampai di Ambon. Namun ada hal lain yang kurang menyenangkan. Toko buku berjejaring berinisial G disini tidak up to date koleksi bukunya. Koleksi buku baru tidak update dan banyak buku bagus yang kosong. Di tahun 2015 sudah ada beberapa kemajuan, sayangnya harga beberapa buku jauh lebih mahal dari harga normal. Pastikan anda membawa kocek lebih buat berbelanja buku favorit disana #emotsenyum. Mungkin saja buku terbaru belum dikirim kesini akibat permintaan buku yang rendah. Sekali lagi urusan bisnis yang lebih dikedepankan.

Banyak jalan menuju Roma kata pepatah kuno. Akses buku yang agak susah ini (tampaknya) bisa diakali dengan membeli buku digital. Namun setelah beberapa saat memakai aplikasi ebook. Terasa lebih menyenangkan jika kita dapat membaca buku fisik. Membaca di sabak digital menurut saya lebih cocok untuk bacaan yang sekali duduk selesai. Seperti majalah & koran. Ya, bisa juga buku dengan halaman yang relatif sedikit misalnya kumpulan cerpen, kumpulan quote (sudah baca The Magical Moment: Saat-saat Penuh Inspirasi Paulo Coelho?). Novel-novel berhalaman lebih dari 200 halaman tentu kurang nyaman bila dibaca lama-lama di depan layar sabak. Anda sudah mencoba membaca novel detektif “Silkworm” atau “Aruna dengan Lidahnya” di sabak digital? Gone Girl? (Ouch)

Terlepas dari hal-hal diatas ada satu hal yang membuat saya bersyukur di tahun 2014 yakni tetap bisa menikmati kegiatan membaca. Saya masih bisa mendapat asupan bacaan yang ok. Lewat ebook dan layanan perpus. Setelah lulus saya mewanti-wanti agar bisa terus membaca. Membaca itu juga sebuah pekerjaan kata P.K.Ojong, pendiri Harian Kompas yang genap berusia 50 tahun di 2015. Jadi jangan bilang tidak ada pekerjaan saat ada waktu luang di tempat kerja atau di rumah. Pernahkah mendengar ungkapan (menyedihkan) ini, “ketika seseorang telah selesai menjalani pendidikan tinggi & memasuki dunia kerja minat membaca bacaan berkualitas akan menurun bahkan hilang sama sekali”. Bila dipikirkan ada benarnya juga perkataan tersebut, bagi seseorang yang sudah capek kerja seharian meluangkan waktu untuk membaca lebih sulit dilakukan. Pilihan waktu kosong yang ada lebih baik dipakai untuk berinteraksi sosial atau memilih istirahat melepaskan penat di tempat tidur. Membaca butuh komitmen besar. Sampai saat ini.

ooOoo
 

Artikel lepas ini mendapat sedikit sentuhan dari tulisan asli yang termuat di ebook berjudul "Catatan #1 H23BC: Refleksi dan Resensi Pilihan. Anda dapat mengunduhnya secara gratis DISINI.

1 comment:

  1. Karya sastra Indonesia memang kece-kece. Saya juga suka, apalagi yang bau-bau melayu bahasanya agak menghipnotis gimana gitu ehe he
    Obsesi menulis sebuah buku setelah lama bergumul dengan buku sepertinya sudah menjadi hukum kausalitas Pak, saya pun begitu.
    Wahh...perpustakaan di Ambon ya. Sejauh ini, perpustakaan memang masih merayap untuk mengeksiskan diri di berbagai tempat. Di tempat saya, Pangandaran, malah belum ada perpustakaan daerah atau bahkan toko buku. Tempat-tempat berbuku hanya ada di sekolah atau madrasah. Jadi, ketika saya pulang kampung harus bawa banyak stok bacaan untuk sedikit mengobati kemirisan tak adanya akses literasi yang memadai ha ha #getir
    Sukses dengan membaca bacaan berkualitasnya. Semoga virus-virus membaca makin trend dan menjadi gaya hidup mutakhir Indonesia Raya
    Salam kenal, Pak ^^

    ReplyDelete