Catatan Penting Penerbangan Indonesia
Judul Buku: Believe It or Not Dunia Penerbangan Indonesia
Penulis: Chappy Hakim.
Jumlah Halaman: xviii+ 182 halaman.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas.
Tahun Terbit: 2014.
Penulis: Chappy Hakim.
Jumlah Halaman: xviii+ 182 halaman.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas.
Tahun Terbit: 2014.
Kegemparan yang ditimbulkan saat ratusan penumpang yang terlantar karena keterlambatan maskapai saat hari raya Imlek menunjukkan penerbangan Indonesia belum mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Industri penerbangan dalam beberapa tahun terakhir bergairah ditandai oleh banjirnya tawaran tiket murah untuk bepergian disebabkan tumbuhnya kelas menengah yang menjadikan liburan sebagai gaya hidup modern. Sebagai sosok yang dekat dengan dunia penerbangan Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mampu memberikan gagasan kritis mengenai apa yang terjadi dalam dunia penerbangan kita dalam buku terbarunya Believe It or Not Dunia Penerbangan Indonesia. Buku ini merupakan potret keberadaan dunia penerbangan kita dengan titik fokus mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam industri penerbangan sipil nasional.
Pertumbuhan jumlah penumpang dalam 10-15 tahun terakhir begitu cepat terjadi. Penulis lewat buku ini menyampaikan ada masalah dalam dunia penerbangan kita yang semestinya disikapi dengan serius dan dibutuhkan tindakan yang bersifat fundamental. Permasalahan yang terjadi di industri ini ibarat gunung es. Sebagian besar kelemahan berupa masalah keamanan baru mendapat perhatian dari banyak kalangan setelah terjadi kecelakaan yang fatal. Meskipun terus disorot hingga saat ini tidak ada kebijakan solutif yang berjalan karena seluruh masalah sebagian besar terletak pada manajemen pemegang otoritas penerbangan nasional. The information to avoid disaster is available, but it isn't given to the right people at the right time and in the right way. (hal. xvii)
Di bab awal penulis membuka dengan Sekilas Sejarah Penerbangan di Indonesia yang bermula dari perusahaan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) yang diserahkan kepada pemerintah Indonesia kemudian diubah menjadi Garuda Indonesia. Titik awal penerbangan komersial pertama di Indonesia ditandai dengan penerbangan pesawat DC-3 Dakota beregistrasi RI 001 dengan nama seulawah. Di dalam "National Air Power" penulis menjabarkan siapa saja yang berkepentingan di bagian udara Indonesia. Ditambah dengan ulasan beberapa maskapai yang beroperasi di Indonesia. Pergeseran misi atau peran maskapai penerbangan menjadi sorotan penulis untuk memperlihatkan awal semrawutnya industri penerbangan kita.
Pada prinsipnya, Garuda dan Merpati Nusantara Airlines harus tetap berperan sebagai agen pembangunan nasional Indonesia. Garuda sebagai pembawa bendera dan duta bangsa, sementara MNA sebagai jembatan udara penerbangan perintis di daerah-daerah terpencil. (hal.24-25).
Menurut penulis terdapat persaingan tidak sehat dalam bisnis perawatan pesawat. Tidak jarang perusahaan fasilitas perawatan menawarkan harga dibawah kompetitor untuk mendapat pelanggan. Pihak tersebut dapat mengakali dengan penggunaan suku cadang yang tidak lulus sertifikat uji kelayakan, atau suku cadang rekondisi yang difungsikan kembali melalui proses rekayasa dan perawatan ulang dengan teknik tertentu agar lolos dari pemeriksaan regulator. Cara kedua adalah dengan melakukan proses perawatan yang tidak dilakukan secara menyeluruh disesuaikan dengan jumlah dana yang tersedia. Apabila hal ini terjadi maka pihak pengguna jasa yang paling dirugikan oleh kenakalan pihak maskapai. (hal. 30)
Peristiwa kecelakaan masih saja terjadi dewasa ini meskipun pabrikan pesawat telah menyatakan produknya unggul dalam sisi efisiensi dan keamanan. Penulis memakai studi kasus Tambolaka untuk mengungkapkan permasalahan yang terjadi dalam industri penerbangan kita. Peristiwa pada 11-02-2006 tersesatnya pesawat Adam Air sebelumnya terbang dari Jakarta dengan tujuan Makasar kemudian tersesat hingga mendarat di Tambolaka. Di bab Kecelakaan penulis mengungkapkan pertanyaan seberapa bebasnya seseorang mengelola operasi penerbangan dan dimana tanggung jawab sosial para pihak yang bergerak di dunia penerbangan.
"Tambolaka menjadi contoh lengkap betapa buruknya semua sektor yang berkaitan dengan penyelenggaraan operasional penerbangan di Indonesia. Mulai dari SDM, perawatan pesawat, pengawasan, penegakan aturan, hingga lika-liku mudahnya perizinan diperoleh." (hal.37)
Penulis juga menyajikan faktor pilot sebagai penyebab kecelakaan pesawat belakangan ini. Hasil penelitian National Aeronautics and Space Adiministration dengan Iowa University menunjukkan bahwa pilot modern telah menjadi sangat tergantung pada sistem otomatis di kokpit. 60% dari kecelakaan yang terjadi ternyata disebabkan kesalahan pilot dalam mengoperasikan flight management computer. Ketergantungan pada mesin ini pada akhirnya memaksa maskapai untuk memberikan simulasi dan pelatihan tambahan untuk meningkatkan kewaspadaan kerja para pilot dalam membawa pesawat.
Kiprah penulis dalam memberikan sumbangsih perbaikan industri penerbangan sipil di Indonesia dituangkan dalam bab Timnas EKKT (Inside Story). Kecelakaan yang merugikan penerbangan Indonesia di mata dunia menjadi perhatian besar Presiden. Kesimpulan yang didapatkan Timnas EKKT dalam 3 bulan kerja menyatakan kecelakaan terjadi akibat dari disiplin yang rendah, penegakan aturan dan regulasi yang lemah, kualitas dan kuantitas SDM yang tidak memadai, serta kondisi sarana dan prasarana infrastruktur yang sudah kedaluwarsa. Selain itu dibutuhkan penyempurnaan yang bersifat fundamental pada institusi Air Traffic Control Services. Penulis juga berupaya aktif mengawal diplomasi terkait sanksi larangan terbang bagi seluruh maskapai penerbangan Indonesia sejak Juli 2007 oleh Otoritas Penerbangan Uni Eropa.
Berbagai faktor yang berkaitan dengan rendahnya kualitas layanan penerbangan kita dikupas dengan terperinci di bab Catatan Penting Penerbangan RI. Disini penulis memberikan opini faktor-faktor penyebab penerbangan kita tidak masuk dalam kategori aman sejak February 2007 menurut penilaian tim teknis Federal Aviation Organization (FAA) yang mengacu pada standar keamanan terbang internasional seperti tercantum dalam regulasi International Civil Aviation Organization (ICAO). Hal seputar Air Trafic Control (ATC) yang bermasalah di Soekarno Hatta International Airport (SHIA) menjadi pembahasan penting mengingat pentingnya instrumen tersebut dalam navagisai penerbangan.
Masalahnya adalah bila kita dianggap tidak memiliki kemampuan yang setara dengan persyaratan keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan ICAO, maka wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas kawasan wilayah kedaulatan RI akan diserahkan kepada negara lain. (hal.110)
Penulis menyiratkan perlunya pembagian peran yang jelas antar maskapai sehingga terjadi pertumbuhan industri aviasi yang sehat. Selain itu ada keberatan terhadap pengalihan sebagian rute penerbangan ke Bandar Udara Halim. Hal tersebut mengungkapkan kegagalan manajemen AP II untuk mengatasi pertumbuhan penumpang. Disini penulis menjelaskan argumennya bahwa penggunaan Halim sebagai basis Alutsista negara tidak memiliki kapasitas optimal untuk mendukung penerbangan sipil. Halim seyogianya steril dari gangguan sipil. Berkaca dari pengalaman Amerika dalam membuat pengawasan ketat terhadap dunia penerbanga domestik pasca kejadian 9/11. Masalah keterlambatan yang sering menimpa penumpang juga diulas dengan baik oleh penulis di Keputusan yang Salah Alamat dan Penyebab Terjadinya Keterlambatan. Ternyata bukan hanya dari pihak maskapai yang mengakibatkan delay namun juga oleh pihak operator yang tidak memiliki infrastruktur pendukung yang mumpuni.
Menurut data INACA (Indonesia National Air Carrer Association) pertumbuhan penumpang yang terjadi secara bertahap tidak direspon cepat oleh manajemen SHIA. Hal ini kemudian berimbas pada ketidakmampuan pihak bandara untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pengguna jasa angkutan udara. Faktanya kenaikan uang airport tax selalu beriringan dengan laju pertumbuhan penumpang.
Beberapa problematika dunia penerbangan kita menurut Chappy Hakim memiliki sejumlah solusi apabila ada satu badan yang kuat mampu menembusi birokrasi antar kementrian. Kemudian dilakukan penataan maskapai penerbangan sesuai dengan misi, rute & jenis pesawat. Hal tersebut niscaya akan memudahkan mekanisme pengawasan dari pihak regulator yang berujung pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. (hal.164)
"Salah satu cara efektif yang dapat mengatasi permasalahan di dunia penerbangan saat ini adalah dengan mengintervensi langsung ke pusat masalah itu sendiri." (hal.161.)
Buku yang sangat aktual dan komprehensif membahas persoalan kedirgantaraan kita sangat bermanfaat untuk dibaca pecinta dunia dirgantara, stakeholder di bidang perhubungan udara, dan masyarakat yang ingin mengetahui fakta dunia penerbangan sipil Indonesia.
P.S. : Terima kasih sudah mampir dan membaca di h23bc.com. Yuk dukung karyaku dengan bantu share di media sosial kamu, tinggalkan komentar, dan follow @h23bc. Dukungan kamu akan sangat berarti.
No comments:
Post a Comment