Monday, 30 March 2015

Opini Bareng: Belajar Menjadi Penulis



Bulan ini BBIers diminta untuk mengungkapkan opininya tentang alur cerita. Kali ini H23bc akan sedikit berbeda dari yang lain. Bukan sebagai seorang pembaca yang mengulas bagaimana soal alur cerita yang ok dan enak untuk dibaca. Namun bagaimana cara membuat sebuah cerita yang baik. Cerita yang baik tentu saja akan menemukan pembacanya sendiri. Pembaca akan puas dan terkesima dengan cerita dan khususnya alur cerita yang disajikan dengan baik. Ada sebuah proses di dalamnya. Saya belum tahu cara penulis membuat pembacanya tersenyum. Bahkan tersetrum saking hebatnya dibawa masuk ke dalam alur cerita si pengarang. Tentu sangat baik sebagai (calon) penulis, kita dapat menarik sebuah pelajaran dari mana saja termasuk sebuah cerpen. Bisa saja dari sebuah cerita pendek yang dinikmati saban ahad di suratkabar Kompas. Judulnya Saran Seorang Pengarang gubahan Sori Siregar. Selamat menikmati.



Menulis dengan ringkas. Pilih kata-kata yang tepat namun mudah untuk dipahami pembaca.

"Kalimat-kalimat pendek jauh lebih kuat. Bertele-tele itu penyakit, metafora juga jangan terlalu banyak."


Sekali lagi. Pastikan karyamu dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.

"Karya yang rumit dan sukar dipahami walaupun telah dibaca berkali-kali, bukanlah karya yang baik. Karangan itu rumit karena pengarangnya tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, karyanya juga keruh. Nah, sekarang ini banyak orang yang tidak lagi dapat berpikir jernih, termasuk pengarang, sehingga karangan-karangan yang super sulit sangat banyak beredar. Pesan moralnya tidak jelas dan apa yang sebenarnya yang diinginkan pengarangnya tidak ada yang tahu."


Pesan kepada penulis pemula: Jangan menyerah dan jangan pernah berhenti belajar (membaca) dari karya berkualitas milik orang lain. Coba baca karya Alice Munro "Corrie (2012) dan Dear Life (2013)".


"Kalau kamu tetap ingin dikelompokkan sebagai avant-garde (perintis/pelopor) boleh saja. Cuma kalau kamu tidak berhasil, jangan kecewa atau berhenti mengarang. Banyak pengarang muda yang juga mati muda. Maksudnya, setelah merasa tidak berhasil menjadi tokoh penting dalam sastra Indonesia, mereka berhenti menulis. Bisa juga kekurangan ide, karena malas membaca karya sastra yang baik dan sibuk dengan karyanya sendiri.


Dunia menulis adalah sebuah perjalanan. Mutlak dibutuhkan totalitas dalam berkarya.


"Kalau kamu mau menjadi pengarang, jadilah pengarang seumur hidup, bukan karena terlalu banyak waktu luang, iseng-iseng, atau mengisi waktu sambil menunggu hasil lamaran kerja yang kamu kirimkan. Jangan pula kamu berhenti mengarang karena kamu menjadi birokrat yang memegang jabatan penting."



Soal jurus promosi.


"Kalau karyamu telah banyak dan kamu ingin menerbitkannya dalam sebuah buku, jangan lupa meminta pengantar dari pengarang terkenal. Di sampul belakang buku juga jangan lupa dicantumkan pendapat sejumlah pengarang, dosen, redaktur atau tokoh penting. Bukumu bisa laku dengan pengantar dan komentar itu."

Sekedar info: Bagi yang ingin karyanya rajin dimuat di media.

"Di Jakarta ini ada redaktur yang suka sekali memberi pelajaran mengarang kepada para penulis baru. Kalau ajarannya dituruti karya pengarang itu pasti akan muncul dan tidak jarang dipuji pula. Karena itu karya bagus para pengarang lain sering ditolak sang redaktur, karena para pengarang itu tidak mau mematuhi "perintah" sang redaktur. Kamu harus tahu, nepotisme juga ada dalam dunia karang-mengarang."


Ingin menang lomba menulis yang sekarang sedang populer?
Baca resep dari ahlinya.


"Kamu harus dapat menangkap kecenderungan yang ada. Misalnya, kalau ada sayembara menulis fiksi, tulislah yang kedalamannya luar biasa sehingga untuk memahaminya orang harus minimal membacanya sepuluh kali. Karena para juri sekarang ini umumnya menyukai karya seperti itu.

Apa saja inspirasi untuk melahirkan karya-karya terbaik dirimu?

"Ada lagi yang juga penting kusampaikan kepadamu. Jika kau mengarang janganlah semata-mata menggantungkan diri pada imajinasi betapa hebat dan liar pun imajinasimu itu. Banyak sumber yang dapat dijadikan titik tolak. Misalnya, sejarah, kondisi sosial politik, ekonomi, pendidikan, pelanggaran HAM, penegakan hukum dan lain-lain. Jadi karyamu akan memiliki tempat berpijak dan tidak terus-menerus terbang di awang-awang karena tidak mampu mendarat di bumi.

No comments:

Post a Comment