Monday, 2 February 2015

Review Buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Seno Gumira Ajidarma
Yayasan Bentang Budaya (1997)




H23BC ingin mengucapkan selamat atas rilisnya idwriters. Semoga sastra Indonesia kelak bisa mengguncang dunia layaknya seni rupa. Di malam itu orasi "Susastra Kawan Paimo" oleh Seno Gumira sekali lagi menggugah publik tentang apa itu sastra. Penasaran apa isinya? tenang ada transkrip yang bisa kamu baca disini. Kali ini H23BC akan mengulas buku yang menjadi bagian dari Trilogi Insiden "Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum & Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai)" yang menjadi turut melambungkan nama Seno Gumira Ajidarma. FYI buku TI sudah dijadikan audio book yang bisa dinikmati lewat aplikasi Digital Archipelago di ponsel pintar. Saya merasa wajib untuk bisa membaca Trilogi Insiden sebagai wujud keinginan menolak lupa atas sejarah kelam (jika tidak ditulis dengan kejam dan tidak berperikemanusiaan) yang terjadi di Tim-tim.

"Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran."

Buku kumpulan esai SGA ini terbagi menjadi dua bagian besar yang saling berkaitan erat. Benang merahnya adalah perjuangan penulis untuk terus berupaya memperjuangkan fakta yang terjadi di Dili dapat terus dikenang dan dapat menjadi pelajaran sehingga tidak terjadi lagi di masa depan. Di bagian awal penulis berbagi kegelisahannya mengenai dunia sastra yang terkepung oleh kepentingan ekonomi. Sastra khususnya cerita pendek yang dimuat di media sekilas hanya sebagai "pengisi" kebutuhan masyarakat Indonesia kala menikmati rehat sejenak sembari minum kopi dan duduk santai di hari minggu.



"Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutup kebenaran adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi."


Ketika membaca buku ini tulisan penulis yang terasa menggebu-gebu terus bergerak dengan keinginan penulis berbagi apa saja catatan-catatan di balik penulisan cerpen yang sudah dibaca publik saat itu. Hal inilah yang kemudian menjadi jembatan pada "menu utama" esai yang berupa poin-poin penjelasan menyoal apa yang dialami dirinya dan rekan-rekan jurnalis di majalah "Jakarta-Jakarta". The rest is history. Blessing in disguise bagi penulis.


Argumentasi penulis bukan hanya sebatas sebuah upaya membuktikan kebenaran atas ketidakadilan yang terjadi. Lewat buku bersampul putih ini penulis ingin menularkan keberanian yang sama kepada pembaca. Penulis seolah ingin mengajak kita untuk jangan berhenti ketika diperhadapkan dengan sesuatu yang tidak adil itu. Jangan putus asa, jangan menyerah, dan setidaknya berbuat sesuatu (disini SGA mengungkapkan insiden Dili selalu ada di benaknya dan kelak ditulis dalam karya-karyanya yang dinikmati publik)


Buku ini baik untuk dibaca semua kalangan. Direkomendasikan untuk dibaca oleh calon penulis dan anak muda yang memiliki passion di jurnalistik.

4 comments:

  1. Ini salah satu buku kecil yang (padahal) super tipis, tapi nggak selesai saya baca -____-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo mbak dibaca sampai habis. Topiknya agak berat mungkin ya :)
      Terima kasih sudah berkunjung.

      Delete
  2. menarik memang, manakala sastra turut menyuarakan fakta-fakta yang diabaikan. Sastra bisa bersembunyi di balik kesastraannya, namun nurani yang dapat menemukannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. komentarnya +100
      Semoga di tahun-tahun ini ada yg mengikuti jejak SGA :)

      Delete