Terbitan Penjuru ilmu ini saya temukan secara tidak sengaja sebenarnya. Buku setebal 253 halaman tersebut berisikan catatan politik seorang ilmuwan politik Indonesia yang berusaha membedah kekuasaan dan relasinya pada masyarakat. Rangkuman peristiwa yang dikomentari, diberi konteks, dan terlebih itu menyajikan pendapat khas jurnalis yang kritis. Pembacaan buku ini sarat dengan informasi. Tambahan pula kumpulan kolom dan komentar Salim Haji Said ini boleh dibilang sebuah oase bacaan sospol kekinian yang ditulis dengan gaya dan pandangan yang menarik.
Tentang Salim Said
Perkenalan saya dengan karya Salim Haji Said bermula saat membeli rilisan terbaru pria asal Pare-pare, Sulawesi Selatan waktu itu di stan pameran Mizan. Judulnya Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Penerbitan buku tersebut bertepatan dengan hari jadi beliau. Sayangnya bukunya tidak langsung saya baca. Sampai sudah kuning halamannya. Kemudian buku itu saya kasih orang.
Meskipun begitu beberapa tahun setelahnya, saya menamatkan buku lain beliau yang bertajuk Gestapu 65, PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto (Mizan, 2015). Yang menarik adalah efek membaca buku ini yang hebat. Tercengang. Takut. Entah kenapa after effect-nya malah takut. Sebab pikir saya, apa yang saya baca ini adalah sebuah informasi yang terlarang. Sedemikian kalut (maaf jika anda rasa terlalu berlebihan) rasanya malam itu. Teori-teori yang diutarakan beliau rasanya masuk akal dan ini adalah informasi baru bagi saya.
Ulasan Buku
Singkat cerita saya tertarik dengan buku pertama Salim Said. Saya baca dan saking bagusnya saya masukkan dalam 10 buku menarik untuk tahun 2015. Buku beliau yang terakhir di Mizan pun saya beli. Kali ini berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (Mizan, 2016). Sampulnya dominan hitam dengan tulisan merah. Kesannya misterius. Namun buku ini tidak saya habiskan. Kok bosenin ya, pikir saya waktu itu. Rasanya isi buku ini adalah ulangan Dari Gestapu ke Reformasi. Meski beliau menyatakan ada perbaruan berupa pandangan mutakhir beliau. Sesuatu yang ingin saya tanya ke editor yang bersangkutan. Entah kapan.
Bersama Beni Moerdani. |
Mari kembali ke Jokowi Melawan "Debt Collector" saja.
Kolom-kolom Salim Haji Said dalam buku ini terentang dari tahun 1968-2016. Kabarnya waktu itu, beliau diberikan "kebebasan" memberi komentar tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jakarta. Kurang lebih semacam kolom akhir pekan di koran nasional. Hal yang sebenarnya tidak dimungkinkan. Seseorang boleh bebas mengkritik dan merespon pemberitaan dengan kritis. Kolom di Harian Angkatan Bersenjata tidak hanya secara privat dibaca petinggi-petinggi. Sebagai gambaran, di masa Orde Baru, media menjadi underdog, karena berpihak pada underdog. Keberpihakan tersebut dilakukan dengan sikap keras menentang pemerintah, contohnya harian Indonesia Raya dan Pedoman. Demikian kata Jakob Oetama dalam dialog singkatnya di Jurnal Prisma (2015). Gambaran saya ini adalah titik awal Salim Said menjadi seorang pengamat politik, militer, dan pertahanan.
Membaca kolom dan komentar beliau membuat kita berpikir politik itu hal yang atraktif. Interpretasi dari kejadian-kejadian politik yang mewarnai kehidupan berbangsa disajikan dengan tulisan yang menarik.
Salim Haji Said awalnya bertugas sebagai wartawan muda yang turut mengalami dari dekat peristiwa penting negara ini, mengamati pasang surut negara, hingga berhasil menjadi sosok akademisi yang disegani, terbukti beliau menjadi Guru Besar Ilmu Politik Unhan dan UMM. Selain menjadi pengajar tetap pada Sesko TNI, Seskoal, dan STIK/PTIK.
Oleh sebab itu serangkaian tulisan ini bisa dikategorikan sebagai kesaksian seorang ilmuwan politik atas keadaan bangsa Indonesia dalam kurun waktu Orde Baru hingga reformasi.
Membaca buku ini ibaratnya sedang merangkum jejak-jejak pembelajaran sosial politik. Dimampatkan dalam beberapa ratus halaman. Istilah-istilah yang kerap kita hafalkan dalam pelajaran sejarah. Tentu masih terngiang dalam pikiran kita. Kalau anda menyimak pelajaran sejarah dengan telaten di bangku SMP maupun SMA. Seperti demokrasi terpimpin dsb. Nah. Saat membaca buku ini uraian penulis layaknya puzzle yang melengkapi apa yang kita ketahui sebelumnya.
Ringkasnya begini.
Mengapa militer menjalani dua fungsi?
Mengapa Thailand, Mesir, dan Indonesia seolah punya kesamaan dan ada satu dua pelajaran tentang demokrasi yang dapat ditarik dari ketiganya?
Bagaimana Partai Golkar terus merapat dan kalau bisa turut memimpin di pemerintahan?
Bagaimana kondisi politik Indonesia waktu jaman Sukarno dan Soeharto?
Kemudian, apa sih esensi dari politik? Dunia perpolitikan?
Mengapa disebutkan Jokowi melawan debt collector? Siapa yang dimaksud penulis dengan pihak yang disinggung terakhir?
Khusus bab ini, penulis mencoba mengajak pembaca untuk kritis dengan sosok Presiden. Seorang Presiden punya segenap kekuatan, power untuk menggerakkan bangsa. Memimpin negara. Mengelola ekonomi dan mensejahterahkan masyarakat. Setelah diberi kekuasaan oleh partai pendukung. Salim Said mengingatkan kita bahwa tidak mudah menjadi seorang pemimpin negara. Tentu anda sudah paham maksudnya. Itulah yang hendak disampaikan lewat sebagian besar tulisan beliau di buku ini.
Artikel yang ditulis Salim Haji Said memang boleh saja dianggap analisis seorang ilmuwan politik semata. Paling tidak ada yang bisa disyukuri. Buku ini bisa jadi mengurai sedikit problematika. Minimnya literatur berisikan informasi perkembangan politik bangsa. Maksud saya adalah upaya agar generasi milenial juga melek politik. Selain nonton Asumsi, Opinion, ya.
Buku bersampul Pak Jokowi seolah sedang berkarate ini saya rekomendasikan bagi Anda penikmat buku sospol dan sejarah Indonesia. Generasi milenial yang kepo dengan apa yang terjadi pada perjalanan RI hingga saat ini.
No comments:
Post a Comment