Asia & Australia oleh Myrna Ratna
Terbit tahun 2013 oleh Penerbit Buku Kompas.
Buku perjalanan yang satu ini memuat begitu banyak kesan mendalam lewat kata-kata dan foto penulis. Membaca seri Kompas Traveller Asia & Afrika membuat kita serasa ikut menjelajahi tempat-tempat yang disinggahi Myrna Ratna. Saya begitu menyukai gaya bercerita penulis. Setiap kali membaca satu tulisannya, saya mendapati selalu ada pemahaman baru dan seperti ada sebuah film yang diputar di ruang imajinasi saya.
Buku ini tergolong tipis. Hanya memuat 12 cerita perjalanan. Kita tidak akan takut gagal menyelesaikan buku perjalanan yang tipikal tebal dan membosankan.
Dari Benua Asia kita memulai perjalanan dari Mengejar Matahari Gili, kemudian mengunjungi Sebuah Kampung di Kaki Gunung, melihat keindahan batik di Hidup Tak Seindah Lukisan Batik, merasakan kengerian sempitnya melewati terowongan di Menjadi Tikus di Saigon, hingga mengikuti indahnya toleransi di Menjadi Mualaf di Negeri China.
Dua cerita yang berkesan dan nempel lama di benak saya adalah tentang perkampungan batik Pekalongan dan pengalaman mencoba terowongan tikus di Vietnam.
Betul apa yang dikatakan Budi Darma untuk buku ini. "Myrna Ratna berhasil menggabungkan kepiawaian menulis dan memotret, dan karena itu melalui tulisan-tulisan perjalannya ia bisa menciptakan empati pembaca: pembaca merasa terlibat di dalam kisah-kisahnya..." Hal itu yang saya rasakan saat penulis bercerita tentang pengalamannya menyusuri perkampungan batik di Pekalongan timur. Diantara giatnya usaha banyak orang menggelorakan batik secara nasional. Banyak yang terluput dari pandangan orang banyak. Batik-batik yang dibeli seharga hampir ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tidak memberikan penghidupan yang layak bagi pembuatnya.
Mari kita ikuti pengamatan yang penulis.
Bagi Jazuli (48), menjadi perajin batik saat ini merupakan pilihan yang tidak masuk akal. "Bagaimana kita bisa hidup dengan membatik? Setahun hanya bisa menyelesaikan tiga atau empat helai. Paling sebulan dapatnya Rp.100.000-Rp.200.000, kita mau makan apa? katanya.
Lihatlah Tarnati. Seluruh hidupnya ia berikan untuk membatik. "Kesetiaan"nya itu dihargai sangat murah. Hanya Rp.7.000 per hari dan itu harus dipotong uang makan. Mereka harus bekerja dengan punggung tegak, penerangan samar-samar, ruangan yang pengap, sedikitnya delapan jam per hari. Dalam sebulan rata-rata ia mengantongi sekitar Rp.100.000-Rp.150.000. Itu pun tak tentu, tergantung dari orderan.
Sementara di catatan perjalanan Benua Australia hanya terdapat 2 tulisan, yaitu Meniti Jembatan Lengkung Sydney dan Menyusuri Samudera, Menuju Purrumbete.
Begitu menyenangkan membaca buku ini sehingga saya lupa kalau sebenarnya saya jarang mengikuti rubrik perjalanan di koran.
Ps: Saya beruntung mendapatkan buku ini dengan harga lumayan murah di toko daring. Sayangnya seri Amerika dan Eropa tidak dapat saya miliki karena sudah tidak ada stok di penerbit. Sayang seribu sayang.
No comments:
Post a Comment