Tuesday, 29 May 2018

Review Novel Bumi Manusia

Bumi ManusiaBumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 5 of 5 stars

Pembuka tetralogi yang mengesankan.


Bumi Manusia adalah novel Pram yang baru saya baca setelah hingar bingar pengerjaan film dengan judul yang sama oleh sutradara kondang Hanung Bramantyo, sosok yang tak asing lagi dari belantika perfilman nasional. Lewat trivia yang dimuat di Jawa Pos 28 Mei 2018, Hanung waktu itu pernah mendatangi Pram untuk maksud mewujudkan karya besar miliknya ke dalam medium film. Sontak dijawab bukunya juga ditawari sutradara kondang, Oliver Stone, dari Hollywood. Keinginan Hanung belum diluluskan hingga kelak ditawari Falcon untuk menyutradarai film Bumi Manusia yang kemudian heboh di kalangan warganet.

Sesederhana itu saya menjumput dorongan membaca untuk pertama kali karya Pram. Buku yang ditebus beberapa tahun silam, sudah penuh bercak kekuningan. Dengan sedikit imajinasi Iqbal di dalam benak saya sebagai tokoh utama dalam pembacaan Bumi Manusia. Tapi hanya di beberapa jenak saja, karena sejujurnya saya lebih ingin mandiri menafsirkan sosok Mingke dan Anne di kepala.

Seperti halnya kisah percintaan yang mudah membuat orang jatuh simpati ke dalamnya. Pram dengan mengalir menjalin cerita demi cerita di buku ini. Harap bersabar menemui diksi-diksi tidak biasa yang mungkin sudah jarang kita dengar saat ini. Tapi diksi seperti kekinian dan beberapa lainnya (lupa) yang saya kira sedap betul menambah perbendaharaan kalimat. Bahasa Indonesia memang luar biasa!

Narasi yang dihadirkan dari awal cukup sederhana untuk kita baca. Nggak perlu jiper dulu lihat tebalnya, si narator itu kayak sedang bercerita santai dengan pembaca. Ini loh cerita cintaku jaman dulu, karena settingnya di abad 18. Pertemuan demi pertemuan yang dirangkai kelihatannya begitu ringkas, sampai pada konflik demi konflik mulai terbangun. Tak disadari kita mendapati ketegangan yang mau tak mau harus dituntaskan dengan membaca sampai akhir. Yang cukup tebal juga kalau boleh dibilang. Maka saran saya: persiapkan cukup waktu untuk menikmati buku ini.

Saya kemudian mendapati betapa Pram, bisa menyajikan cerita yang begitu padat. Begitu berisi sekaligus sederhana. Pembaca tinggal menikmati dan terasa masuk betul dalam kentalnya situasi yang dihadapi sang tokoh utama. Tak ketinggalan belokan-belokan cerita yang bikin kita makin antusias dengan kisah Mingke yang digambarkan sebagai sosok terpelajar sekaligus pandai menulis.

Kisah di buku ini ditutup dengan penutup yang bikin pembaca penasaran. Dan harus melanjutkan pembacaan di novel kedua dari apa yang terkenal dengan Tetralogi Pulau Buru. Tidak bisa tidak. Saya bisa membaca BM dengan anteng, sembari tersenyum, terbawa sedikit dengan api asmara sepasang kekasih kesayangan kita itu. Tidak terburu-buru dalam menyelesaikannya. Saya membayangkan bagaimana orang-orang waktu jaman buku ini dilarang, membacanya sambil deg-deg ser, jantungnya terpompa cepat karena merasa membaca sesuatu terlarang. Bukunya pun tak terjual bebas selayaknya sekarang. Di Gramedia, misalnya, buku ini bisa dijumpai kalau kamu mau tahu bagaimana isi cerita yang akan dimainkan oleh Iqbal nanti.

Membaca Bumi Manusia tentu tidak dapat dipisahkan dari semangat perjuangan melawan ketidakadilan yang tersirat dari novel ini. Keadaan masyarakat saat itu pun dapat menjadi rujukan tentang wawasan Indonesia. Budaya Jawa yang menjadi titik sentral tak lepas dari perhatian sepanjang buku ini. Merekam jauh kehidupan masyarakat Surabaya, Jawa Timur, kita dapat membayangkan andong, dokar, orang-orang memerah susu, daerah kembang Jepun, Wonokromo, bahkan kue cucur, semuanya itu melengkapi kekuatan deskripsi penulis sehingga kisah ini begitu hidup dalam imajinasi pembaca.

Buku ini direkomendasikan untuk anda yang ingin mengetahui sumber primer film Bumi Manusia, penikmat sastra Indonesia, konon ada yang bilang belum baca sastra kalau belum khatam Bumi Manusia dan teman-temannya.

View all my reviews

No comments:

Post a Comment