Tuesday, 26 January 2016

Ulasan Buku Melawat ke Timur by Kardono Setyorakhmadi

Pengalaman berkunjung ke Timur yang tak terlupakan.




Masih teringat di benak kita kejadian di Tolihara yang mendapat atensi luar biasa dari banyak kalangan. Semua pihak merasa gemas ingin berkomentar dan turut meramaikan "momen" tersebut. Namun sebenarnya di tanah Papua sendiri memiliki toleransi dan kebersamaan antar umat beragama yang luar biasa. Hal itulah yang dibuktikan dari kumpulan catatan perjalanan Kardono Setyorakhmadi. Buku ini merupakan hasil penelusuran keberagaman islam di Maluku dan Papua yang terbit berseri di rubrik Ramadan suratkabar Jawapos tahun lalu.


Melawat ke Timur mengajak pembaca untuk sejenak melihat keadaan negeri yang penuh rempah dan tersohor di masa silam. Mendarat di Ambon dan menilik kehidupan masyarakat disini seolah membukakan mata sang penulis. Relasi antar umat beragama yang kuat ternyata sudah mendarah daging melampaui generasi demi generasi. Beberapa hari meliput di pulau Ambon dan sekitarnya. Perjalanan berlanjut menyusuri sisi utara menuju Maluku Utara.



Tulisan yang mengupas kesultanan Ternate dan sekitarnya menjadi catatan tersendiri. Disini kita dapat melihat dinamika kehidupan yang terjadi di kerajaan Islam tertua di Indonesia. Penulis juga mengangkat Jailolo dan Bacan yang masih bergumul untuk bangkit dan maju seperti kakak sulungnya, Kesultanan Ternate. Pengamatan menarik tersebut bisa kita baca secara lengkap pada bab "Di Semenanjung Raja-Raja". Termasuk di dalamnya mengangkat fenomena batu Bacan yang begitu populer beberapa waktu terakhir. Penambangan batu bernilai ekonomi ini menimbulkan pertanyaan di benak saya. Jika pada saat ini masih banyak areal tambang di daerah pesisir. Berapa lama lagi hingga tanah adat yang berada di tengah pulau akan menjadi sasaran para pengeruk hasil bumi ini?



Membaca buku ini merupakan pengalaman yang menyenangkan buat saya. Saya bisa menikmati kekayaan adat dan warna-warni kehidupan masyarakat di dalamnya. Tidak sedikit saya sejenak terdiam dan membayangkan betapa kejamnya para provokator di awal reformasi. Mereka dengan sengaja mengoyak tatanan kehidupan masyarakat Maluku. Kembali ke Melawat ke Timur. Di satu bagian saya mendapati cerita menarik. Disebutkan sebelum upaya rekonsiliasi Deklarasi Malino berjalan, ternyata ada banyak agen perdamaian yang tidak kelihatan namun punya peranan besar. Mereka adalah papalele (pedagang keliling) dan tukang ojek. Keduanya dengan perlahan menghapus "batas-batas" kasat mata yang selama ini terjadi pada waktu konflik.



Diantara sebagian besar pengamatan penulis yang menceritakan soal Islam yang beralkulturasi dengan adat setempat ada pula catatan selingan yang tak kalah menarik. Temui pengalaman penuh "sensasi" saat wartawan nyentrik ini harus berpuasa tatkala menyisir daerah "wisata kuliner" lokal. Cerita menarik tersebut bisa dibaca di "Berbuka dengan Air Guraka". Tak klop juga bila tidak menyoroti keberadaan emas hitam di perjalanan ini. Penulis menyinggung soal cengkeh yang masih menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat hingga pengalamannya menjumpai suku Nomaden di Taman Nasional Aketajawe, Halmahera. Perjalanan ini ditutup dengan lawatan melihat keberadaan pemeluk Islam sembari menikmati keindahan alam bawah laut di Raja Ampat.



Usaha penerbit Buku Mojok untuk menerbitkan buku ini tampaknya untuk mengingatkan pembaca, negeri kita dianyam oleh beragam perbedaan. Namun tetap ada tauladan untuk hidup berdampingan dengan baik. Semoga Bhineka Tunggal Ika tetap hidup di Indonesia.



Melawat ke Timur ditulis oleh Kardono Setyorakhmadi. Terbit 2015 oleh Penerbit Buku Mojok.

1 comment: